Posts tagged ‘book’

February 5, 2019

The Tattooist of Auschwitz: A Novel

Saya bingung dengan kemampuan baca saya, kadang bisa baca berhari-hari, berpekan-pekan atau malah hanya dalam 6 jam saja. Buku ini contoh kategori terakhir: saya pinjam dari perpustakaan hari Sabtu malam, eh ternyata Minggu malam udah kelar dibaca. Whew.

Mungkin juga karena faktor bahasa yang tidak terlalu rumit plus ceritanya menarik sih yang bikin ga bisa lepas dari buku ini. Dan mungkin karena faktor ke-Melbourne-an juga. Trus pasti pada bingung deh apa hubungan antara Melbourne sama Auschwitz, dasar si mbaknya ini snob.

Jadi gini, Heather Morris si penulis novel ini adalah warga negara New Zealand yang sekarang bermukim di Australia, tepatnya di…. Melbourne lah. Mana lagi? Trus di Melbourne ini juga dia ketemu sama Ludwig Sokolov alias Lale, seorang mantan tahanan Auschwitz.

Awalnya ga mudah tuh buat meyakinkan Lale curhat tentang masa lalunya. Tapi toh akhirnya Morris berhasil membuat Lale buat berbagi cerita dan setuju untuk membiarkannya ditulis menjadi screenplay dan kemudian dalam bentuk buku. Ga sia-sia, buku ini bertengger di deretan atas The New York Times selama 20 minggu. Pencapaian luar biasa buat penulis yang sebelumnya sama sekali belum pernah menulis apapun.

Sekarang kembali soal kisah di dalam bukunya. Seperti tercermin di judul, buku ini bercerita soal Lale sendiri, seorang tukang tato tahanan di Auschwitz. Hari demi hari dilalui Lale dengan kengerian luar biasa. Bahkan sempat diceritakan ia bertemu mata langsung dengan Josef Mengele. Pernah denger soal Mengele? Googling gih.

Set the gruesome and cruel story aside, Lale focused on how he saw, seek and then had relationship with his love of lifetime: Gita. Later on they got married and live happily ever after.

Kisah dalam buku ini bukan berarti nyata lho, beberapa kritikus menuduh bahwa beberapa detil dalam novel ini dibuat-buat, hasil karangan Morris semata. Well, apapun itu, buku ini lumayan kok buat menghabiskan waktu ketimbang mantengi twitwar. Ya ga?

Tags:
February 28, 2017

The Making of MONA – Adrian Franklin

Buku hitam legam dengan semburat pink ini langsung menarik perhatian, membuat tangan saya otomatis mengambilnya dari rak buku Melbourne City Library. Minjem di sini gratis jhe, kapan lagi bisa baca buku bagus tapi nggak bayar?

Hot pink and black. Ada alasan tersendiri kenapa The Making of MONA didominasi dua warna ini yang tak lain adalah warna MONA itu sendiri. “It’s about being bold and hot… Pink is associated with sex” Iya, hot pink mewakili seks, sementara hitam merupakan representasi kematian, dua tema yang banyak ditampilkan di MONA.

 photo the-making-of-mona-1-lbox-1140x750-f2f2f2_zpsv2ag83dq.jpg

Gambar buku MONA diambil dari sini.

Salah satu highlight kunjungan saya ke Tasmania beberapa minggu lalu itu sebuah museum nyentrik, unik dan beda dari biasanya: Museum of Old and New Art alias MONA. Bapak supir yang mengantar saya dan Dita waktu itu bilang bahwa MONA dibangun oleh seorang milyuner dari hasil menang judi. Saya jadi penasaran lebih jauh donk tentang cerita lebih lanjut.

Membuka buku ini rasanya seperti membuka buku cerita, bukan buku serius, padahal sebenarnya isinya sangat serius. Terdiri dari 11 chapter, keseluruhan isinya bercerita tentang sang pendiri: David Walsh, kisah pembukaannya di tahun 2011, cerita di balik pendiriannya yang memakan waktu 5 tahun lebih, para kurator sampai dengan alasan mengapa koleksi MONA termasuk unusual. Se-unusual apa sih di MONA? Konon Andrew Frost dalam salah satu reportasenya untuk ABC TV berkomentar begini: “big attraction is that it’s a look into the mind of David Walsh, a dark and mysterious place. This is museum as autobiography.. to enjoy MONA is to just feel  the weird.”

Salah satu chapter yang berjudul The Anti-Museum menjelaskan keinginan gila Walsh untuk membuat museum yang tidak seperti museum. Whatever every other museum did, Walsh wanted to do the opposite except for the art. Walsh ga mau pengunjung museumnya capek, bosen dan akhirnya ngerasa bahwa berkunjung ke museum itu sebagai kunjungan di mana kita harus tertib, ngeliatin karya seni trus baca label lalu ngangguk-ngangguk (sok) ngerti. Dia pengen pengunjung merasa terangsang keingintahuannya, pengen tahu lebih dalam ini apa sih, kenapa sih kok ditaruh di sini, trus ada trivia apa di baliknya.

Buku ini juga ngebahas soal aplikasi O, satu-satunya pemandu kita buat bisa ngerti ini art-nya apaan sih. Sebagai mantan buruh IT saya tertarik banget sama aplikasi O di iPhone yang dipinjemin ke kita selama di dalam museum. Konon katanya Walsh cuma kasih order begini: “Deliver a system that would remove the need for labels and empower visitors to vote whether they love or hate the works”. Trus udah, itu tim IT-nya disuruh mikir sendiri. Puyeng ga lo. Akhirnya si tim IT yang terdiri dari 3 orang itu mikir beberapa alternatif, mulai dari pake dongle sampai akhirnya mutusin untuk make wifi dan ‘real time location systems’ (RLTS) buat ngebaca posisi pengunjung dan dihubungkan dengan artwork yang ada di deketnya.

Hasil dari keinginan nyeleneh David Walsh, ditunjang dengan kekayaan yang memungkinkan dia ngewujudin impian itu, terbukti katanya pengunjung menghabiskan waktu 6 kali lebih lama dari rata-rata kunjungan ke museum lain. Bahkan 30% di antaranya ngerasa satu hari penuh itu ga cukup jadi mereka kembali lagi besoknya.

 photo CBB40D83-03E0-4885-9A37-71448EBDFFB3_zps8a2zea0v.jpg

Kalau penasaran dengan keanehan koleksi museum ini, foto yang saya ambil di atas itu menunjukkan salah satu kenyentrikan MONA. Kelihatannya kayak pameran normal khan? Is it truly a normal, usual artwork? Wrong! Koleksi tersebut dibuat dari kaleng sarden(!) yang dibentuk menjadi berbagai organ manusia, dan mayoritas adalah alat kelamin laki-laki dan perempuan. Beberapa karya lain yang dipamerkan bisa dilihat di sini.

Gimana? Jadi tertarik mengunjungi MONA ga? Saya sih terus terang kepengen datang lagi ke sana. Mungkin nanti, nunggu suami datang ke sini lagi 😀

Tags:
December 28, 2016

Proyek Mencari Istri

 photo Rosie_project_medium_zpsuwiz2dju.jpg

Udah anti sosial, seleranya ajaib, a little bit freak, ngga bisa basa-basi, having obsessive and repetitive behaviours, mau cari istri pula! Bayangkan Sheldon di the Big Bang Theory, kurang lebih seperti itulah gambaran mengenai Don Tilman, seorang profesor di kampus ternama yang berlokasi di Melbourne. Kenapa harus Melbourne hayoo… Ya karena sang pengarang, Graeme Simsion adalah alumni University of Melbourne.

Saya tuh orangnya suka pengenan, sukanya niru-niru. Salah satu orang yang pengen saya tiru adalah Bill Gates. Kenapa Bill Gates? Soalnya dia orangnya sibuk luar biasa, tapi masih sempat baca buku lho. Gila, kok bisa ya. Saya yang suka sok sibuk aja suka banyak alasan buat nggak baca buku atau ngga nge-blog.

Dua tahun lalu saya sudah ngintip review buku Rosie Project ini di blog-nya Bill Gates. Trus udah ancang-ancang juga buat beli dan langsung dibaca. Tapi yang namanya niat hanyalah niat belaka. Terlupakan sampai beberapa tahun kemudian sampai suatu hari saya lagi iseng belajar pakai bahan yang diberikan dosen, kok ada nama yang familiar. Graeme Simsion. Penasaran donk, saya coba googling dan ternyata pak Simsion itu salah satu alumni jurusan saya! Whew!

Bukan hanya itu, Graeme Simsion juga konsultan Information Systems di area data modeling. Makin kagetlah saya.. Aduh, kayaknya seru juga nih beralih bidang dari Information Systems ke novelis. Pengeeeen!!

Kembali lagi ke review buku, akhirnya libur semester ini saya beli juga buku pak Simsion yang langsung dilalap habis dalam 3 jam. Bukunya lucuuu!! Banyak joke cerdas nan sarkas tentang cara pandang si tokoh utama, interaksi sosial, konflik dan juga cara si tokoh menyelesaikan masalahnya.

Don Tillman is socially inept. He describes himself as the one who incompatible with women. He fails to acquire social skills, doesn’t know how to interact properly, he even assesses person based on their body mass index (BMI). Then one time, dang! He feels the need to find a wife. Not girlfriend, a wife! He began his own project: Wife Project, method to find the suitable woman based on questionnaire. I know, right.. It’s crazy!

Trus kuisionernya kayak apa, siapa saja yang mau ngisi, berhasil dapat istri sesuai kriteria nggak? Penting ini buat dibaca sendiri. Ngga rugi kok, walaupun genre-nya komedi romantis tapi diceritakan dengan cara smart dan ngga menye-menye. Cara nulis kayak gini nih yang saya mau 😀

Tags:
June 8, 2016

Last Anniversary – Liane Moriarty

51p732bu9aul-_sx329_bo1204203200_

Cerita diawali dengan keterkejutan Sophie Honeywell mendapatkan warisan tak terduga dari kerabat dekat mantan pacarnya. Warisannya bukan sembarangan, sebuah rumah! Rumahnya pun berlokasi di sebuah pulau eksotik, dengan pemandangan indah dan sekaligus misteri di dalamnya.

Thomas Gordon, sang mantan pacar, adalah bagian dari misteri keluarga Munro Baby. Konon berpuluh-puluh tahun lalu pasangan suami istri Jack dan Alice Munro menghilang begitu saja meninggalkan putri tunggal mereka yang masih bayi. Keduanya tak pernah ditemukan, raib ditelan bumi.

Enigma sang bayi (yang saat ini sudah menjadi nenek) akhirnya diasuh oleh kakak-beradik Connie dan Rose Doughty. Thomas Gordon adalah cucu si Grandma Enigma. Sementara kerabat yang meninggalkan warisan rumah adalah Auntie Connie, si kakak yang menemukan Enigma.

Bumbu ceritanya unik dan menarik minat saya untuk terus membaca. Lha wong sejak awal sudah diceritakan bagaimana Sophie secara ironis minta putus di hari yang sama dengan Thomas akan melamarnya. Lamarannya romantis, pula. Thomas sudah memesan tiket liburan, cincin tunangan, kamar hotel romantis dan kongkalingkong dengan bos, teman-teman dan keluarga Sophie untuk mewujudkan lamaran yang tak terlupakan.

Semua itu kandas saat Sophie bilang “I’ve got to tell you something.” Dan dibalas oleh Thomas “Me tooo!! But you go first!”. Aduh itu rasanya gimana itu ya. Awkward bin nyesek bin malu bin sedih dan rasanya ingin menghilang dari dunia bagai asap.

Trus trus.. hubungannya apa antara Last Anniversary dengan Sophie Honeywell? Lebih seru kalau dibaca langsung sih. Ceritanya lucu, menarik dan bikin penasaran. Oya, ini sekaligus jadi tick off buku yang saya beli di Big Bad Wolf kemarin. Yay! Akhirnya berhasil menyelesaikan satu buku 😀

Tags: