November 15, 2020

Staycation di Hotel Fairmont

Hayo siapa aja di sini yang sudah mulai merasa butuh hiburan dan liburan di tengah pandemi? Jujur, saya merasa sangat perlu suasana lain setelah berbulan-bulan berada di rumah saja. Satu sisi, saya bersyukur masih punya pekerjaan tetap dan bisa dikerjakan di rumah. Di sisi lain, ada rasa bosan karena praktis hidup sehari-hari hanya berkutat di kamar tidur, ruang depan TV, kamar mandi dan balik lagi ke ruang TV. Karena itulah saya memutuskan untuk (beberapa kali) pergi staycation di hotel-hotel Jakarta. Fairmont ini adalah hotel ketiga yang saya singgahi selama 8 bulan terakhir.

Sebuah pilihan yang tidak saya sesali karena memang layanan dan fasilitasnya luar biasa. Saya mendapatkan harga lumayan miring, lengkap dengan sarapan dan makan malam selama 4 hari 3 malam. Apalagi ternyata kamar saya di-upgrade secara gratis, yang tadinya entah dari apa menjadi Grand Deluxe.

Saya check in jam 13.30-an dan langsung menuju lantai 16, kamar paling pojok. Begitu buka kamar langsung norak-norak bergembira. Gedaaaaa…!!

Apalagi pas ngintip ke kamar mandi dan liat toilettries-nya. Le Labo, bo! Saya endus-endus sampai puas menghirup aroma Rose 31-nya. Enak bangeeet!

Noraknya ga sampe di situ, semua area saya fotoin. Mulai dari pintu masuk, kamar mandi, kitchen area, closet, kamar, sampai dengan pemandangan dari luar. Kamar mandinya aja terdiri dari empat section: dressing area, wastafel, toilet, shower room plus bath tub. Kebayang khan segede gaban gitu kamarnya.

Sementara saya foto-foto, Yoga ngapain? Dia langsung kerjaaaa! Ckckck.. Jadi begitu naruh tas, yang dia minta pertama kali apaan coba?

“Mana laptopku?”

Trus abis itu dia set up area kerjanya sendiri dan duduk ngejogrok sampe waktunya makan malam. Praktis dia menghabiskan waktu 50% kerja dan sisanya makan, jalan sore atau berenang.

Iya, mumpung berlokasi di deket Senayan, kita sengaja sore-sore jalan di seputaran Fairmont sambil tetap menerapkan protokol kesehatan alias pake masker sepanjang waktu. Engap? Banget! Tapi ya mau gimana lagi ya, kondisi memang mengharuskan demikian.

Di tengah-tengah staycation, kami sempat pergi sebentar ke area BSD buat nyobain es krim di Kumulo. Niat banget sampe ke BSD? Iyah, soalnya di sana khan area-nya di luar ruangan jadi relatif lebih aman lah ya ketimbang kalo di dalam ruangan.

Ada satu hal lagi yang menjadi favorit kami: kolam renang dan jacuzzi! Dua-duanya berada di luar ruangan dan sepiiii. Aih jadi makin hepi berlibur di Hotel Fairmont ini.

Saat ini saya sedang mencari ide staycation berikutnya untuk menghabiskan liburan Natal. Syaratnya: hotel yang menerapkan standar kebersihan yang tinggi, sepi dan berlokasi di tengah kota. Ada saran?

October 24, 2020

Home Screen dan Lock Screen

Barusan saja saya ngga sengaja melihat ada tweet yang nge-post gambar Home screen HP miliknya. Kebetulan si mbak ini kerjanya di XBox. Iya, memang di perusahaan game itu. Jadi ngga heran kalau foto beliau ini tampak keren, lagi main game!

Trus saya ngga mau kalah, langsung screen capture home screen dan lock screen di HP saya.

Home screen yang terlihat berupa salju itu diambil sewaktu roadtrip di Oregon, beberapa minggu sebelum pulang ke Indonesia. Dan secara kebetulan juga, lock screen yang saya pasang merupakan foto yang diambil di kampus saya, Unimelb, beberapa minggu sebelum pulang. Padahal ngga sengaja lho, kok bisa pas ya hahahaha.

Ga ada filosofi apa-apa sih di balik keputusan masang foto itu. Cuma ada perasaan hepi dan sedikit nostalgic, inget suasana waktu motret itu lagi ngapain trus habis itu pergi ke mana dan sama siapa. Sama siapa? Ya jelas sama Yoga, mau sama siapa lagi?

Kalau diliat-liat ya, susunan icon di HP saya itu bener-bener ga ada aturan. Ga disusun berdasarkan fungsi, warna, abjad ataupun kategori khusus. Pokoknya suka-suka saya mau naruh di mana. Sebenernya lebih ke jangkauan jari sih. Aplikasi yang sering saya buka sengaja saya taruh di pinggir, entah kiri atau kanan. Tujuannya supaya mudah di-klik saat sedang pegang HP dengan satu tangan. Trus juga empat icon di menu bawah adalah empat aplikasi yang saya gunakan setiap hari: WhatsApp, Telegram, Safari dan Mail. Kenapa ditaruh bawah? Sama dengan alasan kenapa saya taruh pinggir: supaya gampang di-klik!

Gimana dengan kalian? Foto apa yang kalian pajang di HP? Apakah ada alasan khusus di baliknya? Lalu penyusunan icon aplikasi biasanya berdasarkan apa?

July 18, 2020

Grey’s Anatomy

Serial Grey’s Anatomy muncul pertama kali di tahun 2005, beberapa bulan setelah saya mulai kerja. Dulu saya suka banget karena selain ceritanya menarik, kasus-kasus operasi yang muncul di episode seru-seru. Trus soundtrack-nya baguuus, saya sampai ngumpulin judul-judul soundtracknya dan dijadiin satu playlist di iPod. Dulu masih jamannya iPod, hehehe. Selang beberapa season, saya udah ngga ngikutin lagi. Kalo ga salah terakhir saya nonton intens itu cuma sampai season 3 atau 4 gitu deh. Bukan karena ngga tertarik, tapi memang akses untuk nontonnya ngga ada.

Kira-kira dimulai dari tiga bulan lalu, pas mulai working from home gitu deh, saya iseng-iseng buka Netflix dan menemukan serial ini di salah satu playlist. Cukup kaget juga, lha kok udah season ber-belas-belas gitu. Iseng, saya klik dan pelan-pelan menikmati sihirnya. Banyak tokoh baru selain dari beberapa pemeran yang (ceritanya) sudah mati. Meredith Grey, sang tokoh utama, saat ini sudah jauh berubah. Dulu masih kinyis-kinyis, sekarang terlihat sangat matang. Walaupun badannya masih tetep kecil nan langsing. Wow ini Ellen Pompeo jago banget jaga badan. Nggak butuh lama buat saya untuk catch up dengan alurnya, dan bisa ditebak saya langsung ngga bisa berhenti buat nonton!

Sialnya, Netflix yang saya gunakan ini adalah Netflix Australia yang ternyata hanya memiliki stok Grey’s yang terbatas. Kalau ngga salah hanya season 14 dan 15. Itupun berakhir persis di 30 Juni 2020. Jadilah saya kebut nonton dua season itu berminggu-minggu. Pokoknya weekend adalah waktu saya nonton Netflix, soalnya kalo hari kerja biasanya ga sempat gara-gara keasikan kerja sampai malam. Singkat cerita, di 30 Juni saya harus mengucapkan selamat berpisah pada serial kesayangan.

Sudah? Sampai situ saja? Hohoho, tentu tidak. Setelah tahu kalau saya nge-fans banget sama serial ini dan juga ternyata Grey’s ada di Netflix US, Yoga bergerilya cari info untuk bisa mengakses Netflix US. Pakai apa? Jelas pakai VPN.. Oh I so love technology! Satu malam, Yoga daftar VPN, langganan trus klak klik dikit di TV.. Voila! Netflix saya sekarang sudah diputar arah jadi Netflix US.

Sekarang saya masih dalam tahap mengejar ketertinggalan cerita dengan mulai nonton season 4. Kali ini tidak terlalu terburu-buru karena toh di Netflix US bakal masih ada terus, belum ada pengumuman kapan serial ini akan berhenti tayang. Nggak tahu kenapa, sampai sekarang saya masih belum menikmati nonton drama Korea atau yang sering disingkat drakor-drakor itu. Kepincutnya malah sama serial lama yang pemain utamanya bahkan sudah berusia kepala lima, hahaha.. To each their own khan yaa 😀

June 13, 2020

Menonaktifkan Media Sosial

Biasanya dalam kondisi tertentu saya akan meminimalisir buka-buka sosmed yang nagih itu, terutama kalau kerjaan lagi banyak-banyaknya. Begitu juga dua minggu lalu, kebetulan di kantor sedang ada project yang cukup signifikan menyita perhatian. Jadi deh saya nonaktifkan Instagram dan Facebook. Khusus buat Facebook, saya akhirnya mengaktifkan lagi karena: butuh login ke Goodreads buat cari buku. Dulu memang bikin akun Goodreads pake Facebook karena malas mengingat-ingat password baru. Jadi ya gitu, kalo pas lagi butuh review buku, si Facebook-nya juga harus aktif.

Ada gunanya juga sih saya deaktivasi akun, karena trus jadi lebih fokus buat baca buku. Terbukti dalam 2 minggu saya berhasil menyelesaikan 3 buku:

  1. Psych101: A Crash Course in the Science of the Mind 
  2. HBR’s 10 Must Reads on Strategy 
  3. Value Proposition Design

Cerita dikit deh tentang buku-buku ini ya.

Psych 101: A Crash Course in the Science of the Mind

Kalo kamu tertarik dengan psikologi buat sekedar tahu, buku ini akan berguna sebagai teaser, pembuka. Makanya dikasi judul Crash Course, karena isinya memang singkat. Di buku ini dijelaskan soal teori-teori psikologi yang terkenal, termasuk sedikit latar belakangnya. Karena singkat, kadang-kadang ada kasus yang merangsang rasa ingin tahu dan membuat saya mencari penjelasan lebih jauh. Contohnya: Stanford Prison Experiment.

Di tahin 1971, ahli dari Stanford University mengadakan penelitian untuk mengetahui perilaku dasar manusia, apakah sebenernya kita sebagai manusia normal mampu bertindak di luar batas kemanusiaan apabila ditempatkan dalam kondisi tertentu. Mengambil subyek penelitian dari 24 mahasiswa baik-baik, para sukarelawan ini dibagi menjadi dua kelompok. Ada yang kebagian menjadi penjaga penjara, ada juga yang menjadi tahanan. Situasi dan kondisi dibuat persis sebagaimana kondisi penjara aslinya, termasuk perlakuan, kekerasan dan pelecehan terhadap tahanan.

Di luar dugaan (atau malah sesuai dugaan?), penelitian ini mengakibatkan hasil yang tidak menyenangkan. Saking buruknya efek yang ditimbulkan, sampai-sampai penelitian ini dihentikan setelah enam hari. Jelas prematur, karena awalnya kondisi ini dirancang untuk dijalankan dalam dua minggu. Hiii.. Ngeri.

Stanford Experiment ini cuma salah satu cerita yang dikisahkan, masih banyak penelitian lain yang ditulis walaupun (lagi-lagi) benar-benar singkat.

HBR’s 10 Must Reads on Strategy 

Dulu sewaktu kuliah, saya sudah familiar dengan artikel-artikel Harvard Business Review. Berkualitas, saking tingginya kadang-kadang saya sampai ngga paham, hahahaha! Tapi saya suka, karena menambah kemampuan kosakata. Tahu sendiri khan bahasanya Harvard gimana, banyak vocab aneh yang tidak jamak ditemukan. Minggu lalu saya kebetulan ngecek website Periplus dan melihat buku-buku HBR didiskon sampai 50%. Langsung saja saya sambar satu; ya si On Strategy ini.

Ngga gampang menyelesaikan bacaan ini, karena baca satu kali kadang ngga ngerti. Apalagi tulisannya Michael E. Porter, sang Bapak Manajemen. Pemaparannya selalu panjang, dilengkapi dengan boks-boks khusus untuk memperjelas poin-poin yang disampaikan. Jujur, kalau baca tulisan yang ada boks-boks gitu kadang bikin perhatian saya teralihkan. Alih-alih membaca tulisan utama, saya jadi baca boks, trus pas balik lagi ke tulisan utama saya sudah lupa lagi itu lagi bahas apa.

Tapi berkat kenyataan jarang main sosmed, akhirnya berhasil juga selesai bacaa.. Hahahaa.. Happy sekali saya.

Value Proposition Design

Sekarang masuk ke buku ketiga yang dibeli tanggal 19 April 2020 dan baru sampai 6 Juni 2020. Wha, lama amat? Iya, soalnya beli di Book Depository dan dikirim dari UK. Website-nya Book Depository sih bilang katanya kalo barang yang di-dispatch dari UK cuma butuh waktu 7-10 hari, tapi ada kemungkinan terlambat gara-gara Covid-19. Dan dugaan saya sih mungkin proses di bea cukainya juga memakan waktu yang lumayan. Masih untung sih buku ini ngga kena pajak, jadi jatuh-jatuhnya harganya jauh lebih murah daripada kalo beli di toko buku Indonesia.

Buku ini tentang apa sih? Menarik banget lho buat yang pengen ngebangun bisnis sendiri. Karena di sini dibahas soal Business Model, how to identify your business’ key points, trus juga dikasi template buat mengaplikasikan.

Ya, kurang lebih demikian ya Bapak-bapak dan Ibu-ibu.. Cerita singkat soal buah dari ngga main sosmed. Lumayan menghasilkan juga ternyata, hihihi..