Di hari libur Isra Mikraj bulan Maret lalu sebenernya saya sudah merencanakan staycation lain. Udah book kamar lewat web hotelnya segala malah. Check in hari Kamis lalu check out-nya di hari Minggu. Dan karena memang hanya libur di dalam kota, saya memang ga packing sama sekali.
Hari Rabu siang, Yoga mengeluh kurang enak badan. Sepertinya GERD-nya kambuh, katanya. Malamnya pas dia pulang kantor, mendadak juga langsung muntah-muntah dan kedinginan. Kami kira Yoga hanya masuk angin biasa, jadi treatment-nya pun sederhana, hanya minum Antangin, pakai sweater, minum air hangat (Yoga ga suka minum minuman berwarna), lalu tidur. Tengah malam itu saya beberapa kali terbangun karena denger Yoga muntah-muntah. Tapi kami lagi-lagi masi menyangka itu masuk angin biasa.
Keesokan paginya Yoga masih mengeluh ga enak badan. Sempat terbersit mau langsung ke dokter, tapi dalam kondisi pandemi gini, mau bawa ke rumah sakit juga rasanya berpikir seribu kali ya. Akhirnya saya putuskan konsultasi lewat Halodoc. Beberapa menit konsultasi, diagnosa dari dokter: infeksi pencernaan. Saya tebus obatnya dan langsung diminum Yoga. Beberapa jam kemudian, kok ini masih muntah-muntah. Dihitung dari malam sebelumnya, total sudah 7 kali! Saya bilang ke Yoga, kalau masih muntah sekali lagi, saya bawa ke rumah sakit terdekat. Untung saja Yoga bersedia.
Benar saja, 30 menit setelah saya bilang begitu, Yoga muntah lagi. Langsung saya bawa Yoga ke rumah sakit terdekat: Medistra. Pertimbangan saya, di bulan Desember 2019 lalu Yoga sempat dibawa ke sini juga gara-gara GERD. Kalau ternyata kali ini sebabnya sama, harapannya bisa lebih cepat karena diagnosa sakit sebelumnya sudah ada. Begitu sampai rumah sakit, saya langsung mengarahkan Yoga ke UGD supaya bisa langsung ditangani. Penanganan di UGD cukup sigap, baik dari dokter maupun perawatnya.
Sungguh saya lupa sama sekali untuk menyampaikan kondisi Yoga bahwa dia mengidap diabetes type 1 sejak tahun 2006. Diabetes type 1 itu adalah diabetes yang memang tidak bisa disembuhkan karena tubuh sudah tidak dapat memproduksi insulin atau mungkin masih bisa produksi tapi sedikit banget, jauh dibandingkan kebutuhan sehari-harinya. Dokter UGD cukup shock waktu mengukur kadar gulanya: 600!
A blood sugar level less than 140 mg/dL (7.8 mmol/L) is normal. A reading of more than 200 mg/dL (11.1 mmol/L) after two hours indicates diabetes. A reading between 140 and 199 mg/dL (7.8 mmol/L and 11.0 mmol/L) indicates prediabetes.
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/diabetes/diagnosis-treatment/drc-20371451#:~:text=A%20blood%20sugar%20level%20less,mmol%2FL)%20indicates%20prediabetes
Setelah mengetahui kadar gula Yoga yang 3 kali lipat batas normal, sang dokter mengambil tindakan preemptive dengan mengukur parameter lain di lab. Paralel, Yoga disuntikkan insulin dengan dosis 20 unit. Dosis yang sangat besar, dan ternyata belakangan Yoga cerita kalo dalam kondisi nyaris tidak sadar dia masih sempat mendengar dia mau disuntik 20 unit insulin. Pikirannya saat itu “Mati, nyuntik segitu gulaku bisa jadi minus dan aku malah hipo parah. Tapi ya udahlah ya, udah di RS ini.”
Sebagai perbandingan, biasanya Yoga nyuntik 8 unit kalau makan selain nasi dan 13 unit kalau hidangannya berupa nasi. Makanya kebayang khan, mau disuntik 20 unit itu kayak apa.
Untungnya sih, tidak sampai kejadian Yoga hipoglikemik karena disuntik insulin dosis ultra besar. Walaupun pas dites lagi 1 jam kemudian, gula darahnya mulai turun jadi 544. Karena turunnya cuma sedikit banget, disuntik insulin lagi 20 unit. Haduuuh…
Setelah hasil lab keluar, dokter bilang “ketoacidosis“. Sebuah kondisi yang memang sering ditemui di penderita diabetes. Dan sebenarnya Yoga sudah pernah sakit semacam ini dua kali, tahun 2008 dan 2013. Yang tahun 2013 itu malah pas kami masih di Amerika. Jadi kalau di Twitter sedang rame-ramenya pembahasan mengenai BPJS vs Health Insurance di Amerika, kami cuma ketawa aja. Pada belum tahu mereka kalo nginep semalam di ICU rumah sakit di Amerika kena tagihan 10.000 USD alias 120 jutaan yang ga ditanggung oleh insurance yang dipunya waktu itu karena preexisting condition.
Balik lagi ke hasil diagnosa dokter:
Diabetic ketoacidosis is a serious complication of diabetes that occurs when your body produces high levels of blood acids called ketones.
The condition develops when your body can’t produce enough insulin. Insulin normally plays a key role in helping sugar (glucose) — a major source of energy for your muscles and other tissues — enter your cells. Without enough insulin, your body begins to break down fat as fuel. This process produces a buildup of acids in the bloodstream called ketones, eventually leading to diabetic ketoacidosis if untreated.
If you have diabetes or you’re at risk of diabetes, learn the warning signs of diabetic ketoacidosis and when to seek emergency care.
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/diabetic-ketoacidosis/symptoms-causes/syc-20371551
Intinya sih, Yoga sakit karena darahnya terlalu asam karena kebanyakan keton yang kemudian membuat lambungnya selalu bergejolak, memuntahkan lagi makanan yang masuk. Waktu masuk UGD keton di badan Yoga diukur mencapai angka 6.0, sementara di badan orang normal cuma 0.6. Yah bisa dibilang sakit keracunan keton lebih gampangnya ya
Fokus dokter saat itu hanyalah menstabilkan gula darah yang sekaligus juga menurunkan level keton dalam darah. Dan dokter UGD sangat menyarankan supaya Yoga dirawat di ICU supaya lebih dapat terkontrol. Berhubung dalam situasi COVID begini, sebelum masuk ruang ICU, Yoga harus swab test terlebih dahulu. Setelah hasil swab keluar dan Yoga dinyatakan negatif, resmilah Yoga masuk ICU dan saya tidak boleh menemui sama sekali. Apa boleh buat, hari itu akhirnya saya pulang ke rumah.