Archive for ‘ura ura’

August 20, 2021

Rapijali – Sebuah Kesan

Saya ngga ngeh lho kalo Dewi Lestari baru aja keluarin buku baru. Astaga, ini saking ga perhatian sama berita apa gimana nih. Dewi Lestari itu pernah jadi penulis favorit saya, dua dekade yang lalu. DULU saya suka serial Supernova, tetapi setelah saya baca ulang ternyata magnetnya hilang. Perahu Kertas, saya benci karena menurut saya ngga jelas. Saya belum tertarik membaca Aroma Karsa karena kok kayaknya tebel banget ya. Tapi si Rapijali ini, jujur membuat saya penasaran. Tapiiiii… Ada tapinya nih. Rumah saya khan kecil yak, ukurannya cuma segitu-gitu aja. Itu kalo saya beli buku mau ditaruh di mana.. Space yang ada sepertinya lebih baik disisakan untuk menyimpan buku lain.

Akhirnya saya tanyalah teman dekat saya, dia udah baca Rapijali belum. Ternyata dia belum baca, jadi saya tawarkan kesepakatan bahwa saya akan beli buku Rapijali lalu saya baca sampai selesai. Setelah itu saya akan kasih ke dia untuk dibaca dan dijadikan hak milik. Yang bersangkutan mau.. Asik.

Rapijali saya akhirnya sampai hari ini jam 18.00, tepat di saat mau memulai weekend. Bukunya cenderung ringan, gampang banget dibaca dan dicerna. Hanya dalam waktu 3 jam saja saya selesai baca!

Di luar dugaan, ternyata saya sangat menikmati kisahnya. Sungguh mudah dinikmati dan membuat saya penasaran akan kelanjutannya. Iya, ternyata buku ini adalah buku pertama dari trilogy. Sampai dengan sekarang baru sampai buku kedua. Gapapa, saya langsung buka Shopee dan place order buat buku Rapijali 2.

Saya rasa ngga perlu bahas sinopsis Rapijali ya karena udah banyak beredar di mana-mana. Yang pasti kalo memang ada rencana mencari buku ringan menghibur, boleh coba beli Rapijali. Recommended!

August 12, 2021

Pindah Kantor, Covid dan Cerita Vaksin

Bulan Juni 2021 bener-bener jadi bulan berkesan buat saya. Ada cerita baik dan ada juga yang sampai sekarang membekas kenangan buruknya.

Di bulan Maret 2021, ada sebuah pesan masuk ke inbox LinkedIn saya. Tujuannya apa lagi kalau bukan buat ‘meminang’. Setelah melalui proses rekrutmen yang cukup cepat akhirnya pesan masuk tersebut berujung pada keputusan saya untuk pindah perusahaan. Dan akhirnya di pertengahan Juni 2021 saya pun mulai efektif di kantor baru. Baru juga beberapa hari saya join, ada sebuah kejutan buat saya. Untung saja kantor baru saya termasuk sangat fleksibel dan supporting jadi walaupun saya terhitung new joiner, saya diijinkan untuk mengambil ijin.

Ingat ngga kalau di akhir Juni 2021 lalu di Indonesia tuh kasus Covid sedang mencapai puncaknya? Saya termasuk salah satu yang kena dampaknya. Memang bukan saya yang positif Covid, tetapi adik kandung saya. Adik saya, istrinya (yang sedang hamil) dan anaknya yang baru berusia 3 tahun, semuanya terkena Covid. Kondisi adik lumayan parah, sementara istri dan anaknya baik-baik saja. Sepertinya istri dan anaknya termasuk OTG (Orang Tanpa Gejala). Saat it;u saya sampai ikut sibuk mencari pinjaman tabung oksigen karena saturasi oksigen dia sudah cukup rendah. Dia sendiri sampai berputar-putar Jakarta mencari Rumah Sakit yang punya tempat kosong. Bayangkan, Rumah Sakit yang sudah didatangi:

  1. RS Puri Cinere
  2. RS Fatmawati
  3. RS Pusat Pertamina (RSPP)
  4. RSUD Pasar Minggu
  5. RSCM
  6. RS di daerah Pulomas

Hasilnya? Nihil. Adik saya harus pulang kembali dan dirawat di rumah. Sungguh sangat bersyukur di masa itu ternyata ada banyak pihak yang membantu sampai pada akhirnya adik saya sekeluarga bisa sembuh tiga minggu kemudian. Dukungan dari RT dan tetangga rumah sangat bagus, mereka secara bergantian mengirimkan lauk dan camilan ke rumah adik saya sehingga mereka sekeluarga tidak perlu pusing memasak.

Belum cukup sampai di situ, di minggu kedua setelahnya, adik saya yang satu lagi juga terkena Covid. Lagi-lagi, kali ini sekeluarga kena semua. Istri dan tiga anaknya semua positif. Dan akhirnya mereka isoman sekeluarga. Syukur, lagi-lagi syukur, kondisi adik yang satu ini termasuk ringan. Tidak nyaman, memang, tetapi cukup ringan. Gejala yang dialami hanya anosmia (hilang penciuman), batuk-batuk dan sedikit demam.

Adik saya yang bergejala berat sampai saturasi rendah itu memang kebetulan belum sempat vaksin sama sekali. Sementara adik yang gejala ringan sudah sempat vaksin dosis pertama. Dan Alhamdulillahnya, saya dan suami sama-sama sudah vaksin dosis lengkap dan sampai tulisan ini ditulis di 12 Agustus 2021 masih belum pernah (semoga jangan) terkena Covid.

Saya termasuk sangat beruntung karena walaupun berstatus pekerja swasta tapi punya suami yang kerja di BUMN. Tahu sendiri khan BUMN termasuk yang dapat jatah vaksin di awal-awal. Nah setelah semua pekerjanya kelar vaksin di bulan Mei, giliran keluarga inti yang dipanggil untuk vaksin. Saya dapat giliran vaksin dosis pertama di awal Juni dan dosis kedua di pertengahan Juni. Tepat.. Tepat sebelum angka penderita Covid naik drastis di minggu keempat Juni. Sempat agak khawatir banget pas lonjakan tingkat okupansi Rumah Sakit lalu. Berbagai pikiran jelek melintas, gimana kalau kena. Gimana kalau Yoga kena, mengingat dia punya komorbid yang fatal, yaitu diabetes. Gimana kalau isoman di apartemen dan ternyata kondisi memburuk. Alhamdulillah, kekhawatiran saya tidak ada yang terjadi satu pun.

Dan di sini saya cuma bisa berharap.. Semoga yang membaca tulisan ini juga selalu sehat dan dilindungi Tuhan YME. Amin!

June 28, 2021

Staycation di Rumah Sakit Medistra (part 2)

Ngelanjutin cerita staycation di Medistra sebelumnya..
Keesokan harinya saya balik lagi ke rumah sakit, berharap kondisi Yoga sudah membaik dan bisa pindah ke ruang rawat inap biasa. Pas berangkat itu saya udah packing baju dan perlengkapan menginap untuk beberapa hari. Ga lupa juga bawa beberapa bahan bacaan karena saya tebak pasti ngga bakal sempet ngapa-ngapain. Benar saja, seharian penuh saya di RS, bisa dibilang hanya duduk di ruang tunggu. Dan di hari itu Yoga juga masih belum boleh pindah ke ruang rawat.


Sorenya sebelum pulang, saya kontak beberapa teman kantor Yoga untuk menginformasikan bahwa ybs sedang sakit dan dirawat di RS. Juga saya sampaikan untuk mohon tidak ditengok karena dalam kondisi pandemi seperti ini agak riskan bagi semua pihak. Eh ga disangka ga diduga, tahu-tahu saya dapat support dari kantor Yoga berupa driver yang disediakan untuk antar jemput RS-rumah! Jam 7 malam, ada yang menghubungi saya dan memperkenalkan diri sebagai pak Saryo dan menawarkan untuk mengantar saya pulang. Sudah cukup lelah duduk seharian, saya mengiyakan dan turun ke lobi. Ternyata, tau ngga.. Pak Saryo membawa sekotak nasi Padang Sederhana (dua lauk!), seplastik besar buah-buahan, sekotak roti dan beberapa botol Aqua. Astaganaga ini disangka yang nungguin Yoga itu satu RT apa gimana hahaha..

Sesampainya di rumah, saya langsung bersih-bersih dan makan malam. Nikmat banget rasanya makan setelah seharian nyaris ngga makan. Iya, selama di RS ternyata saya ngga punya nafsu makan jadi ya cuma ngemil saja. Saya bertekad malam itu harus istirahat full supaya besok segar kembali. Paginya, saya di-WhatsApp oleh pak Saryo yang bilang kalau beliau sudah menunggu di lobby apartemen untuk mengantar saya kembali ke rumah sakit. Luar biasa.. Beliau pagi-pagi sudah ready sementara saya masih bersiap-siap. Perlengkapan saya kali ini jauh lebih lengkap karena saya bawa laptop kantor segala, jaga-jaga supaya bisa tetap kerja seperti biasa kalau sudah harus masuk kamar rawat inap. Benar saja, di hari itu ternyata Yoga sudah diijinkan untuk pindah ke kamar rawat inap.

Sebelum bisa menemani di ruang kamar, saya harus swab dulu untuk memastikan tidak terinfeksi virus Corona. Jujur ini swab pertama saya karena sebelumnya sama sekali ngga pernah dalam kondisi yang mengharuskan untuk swab. Ngga nyaman banget ya swab itu, kecolok n pedes sekali rasanya. Hasil swab langsung bisa didapatkan 30 menit setelahnya, dan untung saja negatif.

Selesai urusan swab dan pesen kamar, resmilah kami menjadi penghuni ruang rawat inap Medistra. Oya, tipe kamar yang kami ambil adalah kamar dengan 1 pasien tetapi kamar mandinya share dengan 2 kamar lain. Lumayan, tidak harus berbagi dengan pasien lain dan saya tetap bisa kerja. Pengalaman yang unik, kerja dari kamar rumah sakit. Cukup untuk diingat, ga perlu diulang hehehe..

Selama masa menemani di RS, aktivitas saya ya cuma berkutat di kamar RS, kamar mandi dan lobi. Berdasarkan peraturan, penunggu tidak boleh meninggalkan area rumah sakit. Kalau keluar RS harus swab ulang. Khan males ya kalo kudu swab lagi, dicolok-colok lagi. Daripada gitu akhirnya saya memilih ga keluar RS sama sekali. Untung banget ya jaman sekarang sudah ada ojek online untuk pesan makanan dan beli ini itu. Saya tiap hari memanfaatkan jasa mereka-mereka ini buat beli kopi pagi, makan siang, makan malam sampai dengan benda remeh temeh yang kelupaan dibawa.

Total Yoga dirawat di RS selama 10 hari! Ngga perlu dibahas lah mengenai detilnya, saya udah males nginget-nginget lagi hahaha. Yang pasti setelah boleh pulang, kondisi Yoga ya sehat-sehat aja, bahkan sekarang kami berdua aktif olahraga lari seminggu dua kali. Bener ya memang, kesehatan itu harta yang paling berharga. Semoga kita semua selalu sehat ya!

April 25, 2021

Staycation di Rumah Sakit Medistra (part 1)

Di hari libur Isra Mikraj bulan Maret lalu sebenernya saya sudah merencanakan staycation lain. Udah book kamar lewat web hotelnya segala malah. Check in hari Kamis lalu check out-nya di hari Minggu. Dan karena memang hanya libur di dalam kota, saya memang ga packing sama sekali.

Hari Rabu siang, Yoga mengeluh kurang enak badan. Sepertinya GERD-nya kambuh, katanya. Malamnya pas dia pulang kantor, mendadak juga langsung muntah-muntah dan kedinginan. Kami kira Yoga hanya masuk angin biasa, jadi treatment-nya pun sederhana, hanya minum Antangin, pakai sweater, minum air hangat (Yoga ga suka minum minuman berwarna), lalu tidur. Tengah malam itu saya beberapa kali terbangun karena denger Yoga muntah-muntah. Tapi kami lagi-lagi masi menyangka itu masuk angin biasa.

Keesokan paginya Yoga masih mengeluh ga enak badan. Sempat terbersit mau langsung ke dokter, tapi dalam kondisi pandemi gini, mau bawa ke rumah sakit juga rasanya berpikir seribu kali ya. Akhirnya saya putuskan konsultasi lewat Halodoc. Beberapa menit konsultasi, diagnosa dari dokter: infeksi pencernaan. Saya tebus obatnya dan langsung diminum Yoga. Beberapa jam kemudian, kok ini masih muntah-muntah. Dihitung dari malam sebelumnya, total sudah 7 kali! Saya bilang ke Yoga, kalau masih muntah sekali lagi, saya bawa ke rumah sakit terdekat. Untung saja Yoga bersedia.

Benar saja, 30 menit setelah saya bilang begitu, Yoga muntah lagi. Langsung saya bawa Yoga ke rumah sakit terdekat: Medistra. Pertimbangan saya, di bulan Desember 2019 lalu Yoga sempat dibawa ke sini juga gara-gara GERD. Kalau ternyata kali ini sebabnya sama, harapannya bisa lebih cepat karena diagnosa sakit sebelumnya sudah ada. Begitu sampai rumah sakit, saya langsung mengarahkan Yoga ke UGD supaya bisa langsung ditangani. Penanganan di UGD cukup sigap, baik dari dokter maupun perawatnya.

Sungguh saya lupa sama sekali untuk menyampaikan kondisi Yoga bahwa dia mengidap diabetes type 1 sejak tahun 2006. Diabetes type 1 itu adalah diabetes yang memang tidak bisa disembuhkan karena tubuh sudah tidak dapat memproduksi insulin atau mungkin masih bisa produksi tapi sedikit banget, jauh dibandingkan kebutuhan sehari-harinya. Dokter UGD cukup shock waktu mengukur kadar gulanya: 600!

blood sugar level less than 140 mg/dL (7.8 mmol/L) is normal. A reading of more than 200 mg/dL (11.1 mmol/L) after two hours indicates diabetes. A reading between 140 and 199 mg/dL (7.8 mmol/L and 11.0 mmol/L) indicates prediabetes.

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/diabetes/diagnosis-treatment/drc-20371451#:~:text=A%20blood%20sugar%20level%20less,mmol%2FL)%20indicates%20prediabetes

Setelah mengetahui kadar gula Yoga yang 3 kali lipat batas normal, sang dokter mengambil tindakan preemptive dengan mengukur parameter lain di lab. Paralel, Yoga disuntikkan insulin dengan dosis 20 unit. Dosis yang sangat besar, dan ternyata belakangan Yoga cerita kalo dalam kondisi nyaris tidak sadar dia masih sempat mendengar dia mau disuntik 20 unit insulin. Pikirannya saat itu “Mati, nyuntik segitu gulaku bisa jadi minus dan aku malah hipo parah. Tapi ya udahlah ya, udah di RS ini.”

Sebagai perbandingan, biasanya Yoga nyuntik 8 unit kalau makan selain nasi dan 13 unit kalau hidangannya berupa nasi. Makanya kebayang khan, mau disuntik 20 unit itu kayak apa.

Untungnya sih, tidak sampai kejadian Yoga hipoglikemik karena disuntik insulin dosis ultra besar. Walaupun pas dites lagi 1 jam kemudian, gula darahnya mulai turun jadi 544. Karena turunnya cuma sedikit banget, disuntik insulin lagi 20 unit. Haduuuh…

Setelah hasil lab keluar, dokter bilang “ketoacidosis“. Sebuah kondisi yang memang sering ditemui di penderita diabetes. Dan sebenarnya Yoga sudah pernah sakit semacam ini dua kali, tahun 2008 dan 2013. Yang tahun 2013 itu malah pas kami masih di Amerika. Jadi kalau di Twitter sedang rame-ramenya pembahasan mengenai BPJS vs Health Insurance di Amerika, kami cuma ketawa aja. Pada belum tahu mereka kalo nginep semalam di ICU rumah sakit di Amerika kena tagihan 10.000 USD alias 120 jutaan yang ga ditanggung oleh insurance yang dipunya waktu itu karena preexisting condition.

Balik lagi ke hasil diagnosa dokter:

Diabetic ketoacidosis is a serious complication of diabetes that occurs when your body produces high levels of blood acids called ketones.

The condition develops when your body can’t produce enough insulin. Insulin normally plays a key role in helping sugar (glucose) — a major source of energy for your muscles and other tissues — enter your cells. Without enough insulin, your body begins to break down fat as fuel. This process produces a buildup of acids in the bloodstream called ketones, eventually leading to diabetic ketoacidosis if untreated.

If you have diabetes or you’re at risk of diabetes, learn the warning signs of diabetic ketoacidosis and when to seek emergency care.

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/diabetic-ketoacidosis/symptoms-causes/syc-20371551

Intinya sih, Yoga sakit karena darahnya terlalu asam karena kebanyakan keton yang kemudian membuat lambungnya selalu bergejolak, memuntahkan lagi makanan yang masuk. Waktu masuk UGD keton di badan Yoga diukur mencapai angka 6.0, sementara di badan orang normal cuma 0.6. Yah bisa dibilang sakit keracunan keton lebih gampangnya ya

Fokus dokter saat itu hanyalah menstabilkan gula darah yang sekaligus juga menurunkan level keton dalam darah. Dan dokter UGD sangat menyarankan supaya Yoga dirawat di ICU supaya lebih dapat terkontrol. Berhubung dalam situasi COVID begini, sebelum masuk ruang ICU, Yoga harus swab test terlebih dahulu. Setelah hasil swab keluar dan Yoga dinyatakan negatif, resmilah Yoga masuk ICU dan saya tidak boleh menemui sama sekali. Apa boleh buat, hari itu akhirnya saya pulang ke rumah.