Archive for ‘europe’

March 18, 2016

Den Haag & Amsterdam, Belanda

Judulnya kayak keren ya, jalan-jalan ke dua kota itu. Padahal semuanya dikunjungi dalam satu hari jadi bisa dibilang tidak terlalu dinikmati juga. Jadwal yang mepet dan ketat ala baju Jupe (niru istilahnya Dita) memaksa kami untuk berpindah kota dengan cepat.

Kami menjejakkan kaki pertama kali di Rotterdam kemudian lanjut ke Den Haag untuk jalan-jalan ke Madurodam. Jadi katanya kalau mau mengelilingi Belanda dalam satu hari, datang saja ke sini karena semua tempat wisata Belanda terwakili dalam bentuk miniatur.

20140529_010922_zpsuo7meqwa1

Saya yakin kalau membawa anak kecil ke sini pasti bawaannya nggak sabar ingin masuk ke segala bangunan mini ini wong semua ditata dengan apik dan menarik lengkap dengan propertinya. Jadi kalau mau lihat truk, mobil pohon, rumah dan bahkan boneka-boneka, semua ada versi mungilnya.

20140529_011356_zpsretdbs02

20140529_011832_zpsybrhqk2d

20140529_011957_zps7v5upa4s

20140529_012218_zpseeg7ftw520140529_012828_zps5hpfqotu

20140529_013242_zps0z1flqbl

Buat kita-kita yang dewasa juga tak kalah menarik. Perhatikan salah satu miniatur dengan seksama, pasti akan kagum dengan detilnya. Saya sempat bermain-main dengan salah satu miniatur perusahaan selop. Cukup memasukkan koin 1 Euro, perusahaan selop mungil itu akan mengantarkan hasil produksinya. Lucu!

20140529_020900_zps41mwercm

Ukuran Madurodam tidak terlalu luas sehingga waktu setengah hari pun sudah cukup buat kami. Setelah puas dengan Madurodam, kami melanjutkan perjalanan ke Amsterdam dan antri masuk ke Rijkmuseum. Tak satu pun di antara kami yang paham seni, tapi masa sudah jauh-jauh ke Eropa nggak masuk museum, apalagi gratis.. hahaha! Paling tidak lihat karya Rembrandt yang terkenal: Night Watch. Ternyata yaah itu lukisan segede gaban. Gimana cara Rembrandt ngelukisnya yah.

20140529_054033_zpsa2scez1l

Amsterdam belum sah dikunjungi kalo belum foto di depan tulisan I Am Sterdam yang padatnya bukan main. Susah kalau mau ambil foto eksklusif alias cuma ada kitanya. Mau nggak mau akhirnya kami harus rela foto dengan latar belakang pengunjung lain yang panjat-panjatan. Dan ternyata… suami saya juga iseng pengen manjat di sana! Mau dilarang juga gimana, akhirnya ya sudahlah.. Biarin aja dia naik-naik sesuka hatinya (–“).

20140529_042843_zpsbsa4e44d

20140529_061421_lls_zpsnyubldpo

Puas berfoto-foto di ikon Amsterdam, kami siap lanjut ke destinasi berikutnya: Paris, here I come!!

…. bersambung…

March 17, 2016

EuroTrip vs US Road Trip

Walaupun bukan perbandingan yang apple to apple karena jelas yang satu menjelajah beberapa negara sementara yang lainnya berkelana di dalam sebuah negara (yang luasnya bukan main), tapi ada beberapa hal yang bisa dibandingkan.

EUROTRIP

  1. EuroTrip memerlukan perencanaan yang lebih njelimet karena menggunakan transportasi umum seperti kereta atau pesawat. Kalau naik pesawat harus memperhitungkan waktu dan jarak tempuh dari/menuju bandara. Apalagi kalau naik maskapai murmer (yes RyanAir, I’m talking about you!) .
  2. Selama berada di sebuah kota kita harus cermat menghitung apakah lebih efisien beli one day ticket atau cukup beli tiket sekali perjalanan. Jangan sampai nafsu beli tiket terusan (ala-ala Dufan, pake tiket terusan) padahal kita cuma naik kereta 2 kali pulang pergi yang totalnya separuh dari one day ticket.
  3. Dengan harga yang kurang lebih sama (around 50-60 bucks), kamar hotel di negara-negara Eropa jauh lebih kecil ketimbang kamar hotel di Amrik.
  4. Selama di Eropa saya belum pernah ditawari orang asing untuk memotretkan kami. Yang ada malah saya yang masih terbawa kebiasaan selama di US, inisiatif menawarkan diri untuk memotret turis yang fotonya berganti-gantian.
  5. Jaga harta baik-baik. Post yang ini sudah cukup menjelaskan horor-nya berjalan-jalan di Barcelona.
  6. Eropa punya kereta malam yang nyaman dan layak untuk dicoba. Walaupun harganya tidak murah tapi sekali-sekali boleh deh menginap di ranjang kereta.

10178022_10152361050553934_4146718838078277217_n

US ROAD TRIP

  1. Karena kamar hotel benar-benar difungsikan sebagai tempat istirahat, jadi hotel yang dipilih juga bukan yang bertipe fancy. Kalo di US, favorit kami itu Motel 6. Nggak dapat Motel 6, Super 8 pun boleh lah. Kalau lagi hoki, bisa dapat Red Roof Inn atau Days Inn dengan harga diskon dan jatuhnya sama seperti Super 8.
  2. Road trippin’ means you can bring anything you want, literally! Demi menghemat makan, saya bawa rice cooker, beras, mangkok, sendok garpu dan kopi instan. Setiap pagi sebelum berangkat, saya masak nasi dan dimasukkan ke kotak bekal. Di tengah perjalanan kami mampir ke any grocery chain untuk beli salad, lauk dan buahSaya sampai hapal kalau di sekitar New York state kita bisa menemukan Wegmans. Di Arizona bisa mengandalkan Safeway sementara North Carolina punya Food Lion.
  3. Selama bawa mobil sendiri, tak perlu hitung-hitung soal tiket transportasi umum. Tapi harus pusing soal parkir, karena di beberapa kota yang padat seringkali susah cari parkir. Belum lagi kalau parkir di tempat yang bayarnya pakai koin. Sebentar-sebentar harus mengecek jam, jangan sampai jatah parkir kita habis kalau tidak mau kena surat tilang.
  4. US nggak punya tumbler Starbucks dengan nama kota atau negara (penting!). Jadi kalau mau beli kenang-kenangan terpaksa diganti mug.
  5.  Tiket kereta antar kota termasuk mahal. Saya belum pernah cek sendiri sih karena memang tidak pernah berniat jalan-jalan dengan kereta.
  6. Jangan khawatir nggak punya foto beramai-ramai atau berdua pasangan di Amrik. Selalu saja ada yang menawarkan “let me take picture of you two”  kalau melihat kita berganti-gantian memotret.
  7. Tidak pernah kecopetan atau nyaris kecopetan. Tapi gelandangan yang suka minta uang tetap ada sih di beberapa kota.

Sementara baru itu dulu yang keinget untuk ditulis. Nanti kalau ada tambahan lagi ditulis jadi bahan part 2 deh.

Tags: ,
August 17, 2015

Serba Pertama Kali di Munich, Jerman

Semua serba pertama di Munich. Pertama kali menginjak benua Eropa dan pegang Euro hasil tarik tunai di ATM bandara. Pertama kali datang ke negara yang bahasanya bukan Inggris. Pertama kali menginap di hostel, pertama kali mengikuti tur stadion bola dan pertama kali juga naik high speed train.

Kami mendarat di Frankfurt Airport pagi hari setelah menempuh perjalanan kurang lebih 12 jam. Dalam keadaan capek dan sedikit ngantuk, saya menurut saja di-guide oleh suami. He’s truly a walking compass.

Dia yang mencari arah, bertanya cara membeli tiket kereta sekaligus cara membaca itinerary yang tertera di tiket ke petugas (believe me, taking a train in Germany is more complicated than you think), ambil uang di ATM sampai dengan menyarankan saya untuk ngopi sejenak saat melihat kedai kopi favorit: Starbucks.

Untung saja saat itu petugas imigrasi di pos kedatangan sedang berbaik hati kepada kami. Tanpa dihujani banyak pertanyaan kami diijinkan memasuki Jerman.

Dari bandara kami memutuskan langsung menuju Munich menggunakan DB Bahn (kereta regional yang menghubungkan antar kota di Jerman). Bagaimana mendapatkan tiketnya? Cukup mudah: tiket dapat dibeli dari mesin serupa ATM yang banyak terdapat di bandara dengan menggunakan kartu debit/kredit yang dimiliki. OK, tiket sudah di tangan, tapi masalah selanjutnya muncul. Kereta DB Bahn yang mana yang akan membawa kami ke Munich, jam berapa, dari peron yang mana? Ternyata tidak ada keterangan apapun yang tertera di tiket yang dapat kami gunakan. Setelah bertanya ke information center, kami pun diajari cara membaca itinerary perjalanan kereta di Jerman yang menurut kami memang lain dari yang pernah kami alami sampai saat itu.

Bandara dan stasiun Frankfurt berada di satu kawasan sehingga tidak menyulitkan bagi pendatang seperti kami untuk berpindah sarana transportasi. Saat mencari jalur kereta yang benar, kami masih sedikit tak yakin. Kalau sampai salah naik kereta khan bisa panjang urusan, belum lagi badan sudah menuntut istirahat. Untung saja penduduk lokal ramah dan tanggap. Melihat kami yang kebingungan, seorang pemuda berpakaian rapih mendekati saya dan bertanya tujuan kami. Setelah kami tunjukkan tiket dan sebut tujuan kami, pemuda tersebut memberi

Frankfurt am Main Hauptbahnhof secara literal bisa diartikan sebagai stasiun besar kereta di kota Frankfurt. Di sana kami menyempatkan diri untuk sarapan dengan menu: Burger King!

Jadwal kami hari itu adalah beristirahat, jadi sesampainya di kota Munich kami langsung menuju ke hostel yang sudah dipesan online: Smart Stay Hostel Munich City. Alasan utama memilih hostel adalah kepraktisannya. Lokasi hostel ini sangat dekat dari stasiun U Bahn, yang sangat kami andalkan untuk berkeliling Munich.

smart stay

Bisa dilihat sendiri di peta, seberapa dekat jarak hostel ke stasiun tersebut. Maklum, sebagai pengguna angkutan umum dengan pinggang yang semakin menua harus memperkirakan jarak satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki.

Munich. Bisa menebak nggak kira-kira apa alasan kami mengunjungi kota ini? Suami saya yang pencinta berat olah raga sepak bola mengajak saya untuk mendatangi markas salah satu klub bola terbesar di dunia, Allianz Arena milik kesebelasan FC Bayern. Ini pula yang menjadi jawaban suami saya saat sesi wawancara visa di Konsulat Jerman 2 bulan sebelumnya. Untung petugas visa bukan pecinta klub rival berat FC Bayern ya? Bisa-bisa permohonan visa kami tidak disetujui :p. Alasan lain adalah kami ingin mengunjungi Schloss Neuschwansteinn yang kabarnya juga mudah digapai melalui kota Munich, hanya 2 jam saja menggunakan kereta.

BMW World

Kami punya waktu tiga hari dua malam di Munich tapi bingung mau ke mana lagi selain ke Allianz Arena. Googling punya googling, ada satu tempat menarik yang bisa dikunjungi yaitu BMW Museum.

Di BMW Museum dipajang berbagai varian kendaraan bermotor baik mobil atau pun motor yang diproduksi oleh pabrikan yang memang berpusat di kota ini, dari jaman dulu hingga sekarang. Bahkan mobil Formula One yang dulu dikendarai oleh David Coulthard di kejuaraan balap mobil paling bergengsi sejagat pun ada di sini. Sebenarnya BMW Museum juga menawarkan paket tur untuk melihat-lihat secara langsung pabrikan dari dekat. Sayangnya karena keterbatasan waktu, kami tidak bisa mengikuti jadwal tur yang ada setiap jam ini. Kami akhirnya hanya membeli tiket masuk museum, dan puas berfoto dengan mobil dan motor yang dipajang di sana saja.

Allianz Arena

Suami saya senang sekali karena ini pertama kalinya dia bisa menginjakkan kaki dan melihat secara langsung stadion di mana kesebelasan besar Eropa berlaga. Maklum, selama di Amrik, sepak bola bukan olah raga nomor satu di sana, sehingga harus puas menonton basket atau American Football ditayangkan di TV. Apalagi yang kami kunjungi adalah FC Bayern, yang saat itu baru saja mendapatkan quindruple (ini jelas info dari suami saya sih hehehe). Saya sendiri cuma manggut-manggut saja dijelaskan quindruple itu apa.

Ada dua aktivitas yang kami lakukan di Allianz Arena: mengikuti tur mengeliling Allianz Arena, stadion sepak bola yang juga menjadi home base 2 kesebelasan besar dari kota Munich, FC Bayern dan TSV 1860. Disediakan 2 jenis tur dengan pilihan bahasa Jerman atau pun bahasa Inggris.

Tur itu membawa kami mengunjungi tribun, kamar ganti, ruang media, dan fasilitas lainnya yang terdapat di Allianz Arena tersebut. Sayang karena saat itu sedang off season, rumput yang ada di lapangan sedang dicabut, hanya menyisakan tanah coklat di tengah lapangan.

Setelah tur selesai kami pun mengunjungi museum FC Bayern yang juga terdapat di Allianz Area, FC Bayern Erlebniswelt. Di sana segala macam memorabilia yang terkait dengan sejarah klub besar kebanggaan Bavaria dipajang. Suami saya terlihat sangat antusias melihat seluruh pernak-pernik bola yang ada di dalamnya, termasuk meminta untuk berfoto dengan 5 trofi quindruple yang baru saja didapatkan oleh FC Bayern.

Sepertinya kami jalan-jalan di musim yang kurang tepat karena beberapa kali terhalang oleh hujan, termasuk saat keluar dari stadion. Untung saja tidak sampai mengganggu itinerary keseluruhan dan yang paling disyukuri adalah hari-hari selanjutnya hujan turun bukan di saat kami beraktivitas di luar ruangan.

…. Bersambung

Tags:
May 27, 2014

Apply Visa Schengen di the Consulate General of Germany New York

Beberapa bulan lalu saya cari informasi tentang apply visa Schengen di US tetapi ternyata agak sulit. Jelas saja susah karena warga negara Amerika dan developed country lain khan tidak butuh visa untuk mengunjungi area Schengen. Karena itulah saya tulis saja pengalaman pribadi, barangkali bisa membantu yang sedang cari info sama.

Berdasarkan domisili tempat tinggal ternyata saya harus apply visa Schengen dari the Consulate General of Germany di New York. Sama seperti kedutaan Jerman di Jakarta, slot untuk wawancara visa ternyata tidak mudah didapat. Paling tidak untuk bulan Maret – Mei. Saya mencari slot kosong dari awal April dan ternyata baru dapat untuk akhir April padahal perjalanan saya akhir Mei. Sebenarnya agak khawatir juga karena menurut website proses visa memakan waktu 2 minggu. Kalau ternyata ditolak, saya hanya punya waktu 2 minggu untuk apply visa baru lagi. Tetapi apa boleh buat, rencana perjalanan saya memang mengharuskan untuk punya visa Schengen dari Jerman, jadi pede sajalah untuk book tanggal tersebut. Dokumen yang disertakan cukup standar, yaitu:

  1. Foto. Saya menggunakan jasa http://www.ePassportPhoto.com untuk cetak foto sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
  2. Paspor asli dengan masa berlaku minimal 6 bulan setelah keberangkatan
  3. Visa US yang valid untuk membuktikan bahwa saya penduduk legal di sini
  4. Rekening koran 3 bulan terakhir
  5. Tiket pesawat pulang pergi negara Schengen
  6. Asuransi kesehatan dengan pertanggungan minimal EUR 30.000 atau USD 50.000
  7. Surat keterangan kerja dari kantor
  8. Bukti booking hotel setiap hari selama di negara Schengen
  9. Uang aplikasi sebesar $92/orang. Whew, kalau dirupiahkan lebih mahal dari biaya apply visa di Jakarta nih.

Persyaratan yang membuat saya khawatir adalah rekening koran. Bukan apa-apa, rekening di Amerika khan semuanya sudah online sedangkan dari beberapa pengalaman orang yang apply di kedutaan negara area Shengen lain di Amerika menyebutkan bahwa statement yang dicetak dari internet tidak diterima. Jadilah saya mendatangi kantor cabang bank untuk meminta rekening koran dalam bentuk lain.

Saat saya menyampaikan maksud untuk meminta statement, Personal Banker menyampaikan bahwa seharusnya versi yang dicetak dari internet sudah mewakili. Untuk melegakan hati kami, akhirnya pihak Bank of America bersedia menandatangani hasil cetakan dan personal banker Chase mau membubuhkan cap cabang kantor beserta kartu nama dirinya.

Mengenai surat keterangan kerja, kantor suami saya sudah melengkapi dokumen kami dengan menyertakan surat resmi bertandatangan yang menyebutkan bahwa suami harus kembali bekerja setelah studi selesai. Jadi ngga akan ada yang namanya kabur setelah sekolah selesai, hihihi. Sayang surat tersebut bertanggal 2012, tahun kami berangkat. Untung saja pihak kedutaan tidak mempermasalahkan.

Di hari wawancara saya dan suami tiba 2 jam lebih cepat dari waktu perjanjian. Petugas yang mengecek di lobi ternyata ramah dan suka bercanda. Lain ceritanya dengan petugas penjaga pintu masuk, mereka sama sekali tak tersenyum atau menyapa. Belum lagi dengan pengamanan yang ketat. Kami memasuki ruangan double pintu di mana pintu kedua tidak akan bisa dibuka kalau pintu pertama belum ditutup. Lapisan kaca di pintu terlihat tebal, saya yakin itu kaca tahan peluru.

Setelah melewati double pintu dengan sistem pengamanan ketat, kami digiring masuk lift. Lagi-lagi lift ini tidak dapat beroperasi kalau tidak ada yang mendampingi kami karena untuk menjalankannya harus ada proses otorisasi terlebih dahulu. Well, kedutaan Amerika di Jakarta saja tidak sampai begini. Saat menunggu kami mendengar beberapa nama dipanggil namun tak ada sahutan. Beberapa menit kemudian ternyata nama kami dipanggil.

Proses wawancara lumayan lama, sekitar 30 menit, namun terbantu dengan keramahan si petugas. Seluruh dokumen kami terutama booking hotel diperiksa dengan teliti. Sepertinya petugas ini benar-benar ingin memastikan kalau kami langsung pulang dan tidak mencari kerja di sana. Selain itu juga dipastikan bahwa kami paling lama di Jerman dan bukan di negara lain.

Si petugas sempat bertanya mengapa kami langsung lanjut ke Munich dan tidak bermalam di Frankfurt terlebih dahulu. Suami menjawab bahwa ia ingin segera berkunjung ke Bayern Munchen, yang kemudian dibalas dengan senyum senang sang petugas.   Menjelang akhir wawancara suami saya bertanya apakah berarti permohonan visa kami di-approve. Petugas tersebut menjawab bahwa dokumen kami bagus dan lengkap namun sayang keputusan bukan di tangan dia dan kami harus menunggu sampai akhir minggu untuk mendapatkan jawaban. Bukan waktu yang lama karena saat itu hari Rabu, berarti kami hanya harus menunggu 2 hari. Berhubung kami tinggal jauh dari New York City, kami meminta agar paspor dikirim melalui Fedex yang berarti ada tambahan biaya $20.

Benar saja, hari Senin minggu berikutnya saya mengecek di website Fedex ternyata paspor kami sudah dikirim. Ternyata benar, proses review aplikasi kami hanya memakan waktu 2 hari kerja. Tapii.. masih ada tapinya. Ternyata nama saya salah cetak! Memang hanya kurang satu huruf sih, tetapi membuat kami ketar-ketir. Setelah dipastikan melalui telepon dengan pihak kedutaan, ternyata katanya hal itu bukan masalah. Kami tetap bisa pergi dengan tenang karena toh visa melekat di paspor dengan nama yang benar.   Yang jelas saya sih sudah tak sabar untuk berangkat. Hello, Germany!

Tags: