Archive for ‘ozip’

May 31, 2018

Banda dan Cerita Buat Dien Tamaela

Kalau postingan kemarin terkait dengan Bhinneka, blog post kali ini bernuansa OZIP Magazine, walaupun dua-duanya sama-sama terkait dengan Indonesian Film Festival (IFF) Australia. See, I’m truly grateful having these kind of experience, participating in the special event while wearing two different hats: as a dancer and a journalist.

Di awal bulan April lalu udah ada woro-woro penugasan buat liputan, masing-masing jurnalis disuruh pilih salah satu film yang pingin ditonton. Ga cuma itu, si jurnalis juga berhak bawa satu temen buat nemenin. Pinginnya sih ngegandeng suami, eh apa daya kita LDR alias long distance relationship, bukan lho dikira relationship.

Bulan April dan Mei itu bulan-bulan asyik masyuk buat mahasiswa Melbourne. Masyuk sama siapa? Ya jelas sama perpustakaan lah, wong biasanya deadline assignment itu kayak cewek-cewek kalo mau ke toilet: maunya ditemenin. Jadi bisa aja tuh sehari ada dua deadline barengan datangnya. Makanya, pas dapat tawaran ngeliput itu saya bukannya seneng, malah senep. Dengan seksama dan hati-hati saya pilih tanggal yang ga ada deadline, ga ada presentasi, ga ada group meeting, ga ada apa-apa deh. Masih untung nentuinnya ga pake ngitung weton segala.

IMG_E0451.JPG

Terpilihlah sebuah film berjudul Banda, film kedua yang diputar hari Sabtu, 28 April 2018. Dan terpilihlah seorang teman yang bisa saya seret ikut nonton bareng, tak lain dan tak bukan adalah Ica. Begitu datang di lokasi, saya bilang ke panitia bahwa saya dari OZIP ternyata trus langsung digiring ke photo booth dan kita berdua dijepret sebanyak tiga kali. Dipesenin juga buat datang ambil hasil fotonya pas akhir acara. Tuh, foto yang di atas itu tuh. Unik ya?

Banda the Dark Forgotten Trail adalah sebuah film dokumenter yang mengupas kepulauan Banda, mulai dari kekayaan sumber daya, budaya, sampai dengan keindahan alamnya. Narasi sejarah tersebut dituturkan dengan apik oleh Reza Rahardian, membawa penonton terpesona dalam gambar demi gambar yang bercerita tentang banyak hal.

Salah satunya adalah fakta bahwa di abad ke-17, Banda memiliki kekayaan yang nilainya melebihi emas, yaitu pala.  Berguna sebagai penambah rasa masakan, pengawet makanan, bahkan sampai obat, kemahsyuran buah ini mengundang perseteruan bangsa-bangsa Eropa untuk meneguhkan posisi di Banda. Kisah pun bergulir, salah satunya tentang beberapa tokoh besar Indonesia seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri yang diasingkan ke Banda Neira.

Trus apa hubungannya dengan Dien Tamaela, nama yang disebut di judul blog post ini? Hubungannya adalah: nama Dien Tamaela disebut-sebut di penghujung film, bagian dari puisi Chairil Anwar yang berjudul Cerita Buat Dien Tamaela. Berkisah tentang semangat dan keberanian pemuda Maluku, Chairil mampu menggambarkannya dengan sempurna walaupun tak sedetik pun ia pernah menjejakkan kaki di Maluku.

Asli, Banda ini film yang menarik banget. Walaupun berjenis dokumenter, film ini ga ngebosenin dan berhasil membuat mata saya terpaku di layar terus-terusan buat menikmati adegan demi adegan yang disajikan.

March 25, 2018

Harmony Day Workshop di St Anthony’s Primary School

Australia itu multikultural. Beragam etnis, kebudayaan, gaya hidup dan bahkan bahasanya bermacam-macam. Yang saya sukai dari Australia, dan juga Amerika, tempat saya pernah tinggal dulu, adalah semua perbedaan itu dihargai. Saya pernah minta pendapat salah satu mahasiswa PhD Unimelb untuk keperluan penulisan OZIP Magazine, dan ada satu kalimat yang saya suka: everyone’s differences are celebrated.

Keberagaman ini bahkan sudah dikenalkan pada anak-anak sejak masih usia dini. Salah satu yang saya lihat langsung ya di St Anthony’s Primary School, sekolah yang baru-baru ini mengundang Bhinneka untuk mengisi workshop dalam rangka Harmony Day. Baru kali ini saya melihat sekolah yang benar-benar bervariasi. Rasanya anak-anak dari berbagai negara dan etnis ada di situ, mulai dari kulit sawo busuk kayak saya, kulit putih Asia, kaukasian sampai yang eksotis dan kulitnya keren banget. Sayang karena di lingkungan sekolah, saya dilarang keras mengambil foto mereka.

IMG_0015.jpg

Hari itu, seperti biasa kalo lagi workshop, saya berangkat pagi buta. Matahari di sini baru terbit sekitar jam 7.20-an, saya jam 6 lebih udah keluar dari apartemen pake baju hitam, celana hitam, kerudung hitam dan jaket hitam. Ga beda jauh sama maling.

Ketemuan sama teman di stasiun Southern Cross, saya dan si teman berangkat bareng menuju stasiun Noble Park untuk kemudian dijemput pihak sekolah. Workshop kali ini berlangsung dengan repetisi sebagai berikut:

  1. Nari penuh 1 putaran
  2. Buka kesempatan untuk bocah-bocah itu bertanya
  3. Ngajarin satu gerakan sederhana
  4. Ulangi langkah ketiga diiringi gendang
  5. Ngajarin gerakan lain
  6. Ulangi langkah kelima dengan gendang
  7. Mengulangi gerakan nomor 3 dan nomor 5 bareng krucils
  8. Makein kostum ke anak-anak
  9. Nari bareng anak-anak yang berkostum
  10. Ulangi lagi langkah no 9 dengan lebih cepat

Udah?

Hooo tentu belum donk. Itu sepuluh iterasi di atas diulang sebanyak 4 kali dengan kelompok murid yang berbeda. Saya jamin, habis workshop pasti berat badan turun, ya sekitar 5 sampe 10 ons-an lah, itupun kalo ngga dibalas dengan makan siang yang kalap. Gara-gara syarat dan ketentuan yang di-bold itulah workshop dan berat badan saya nggak pernah berbanding terbalik. Gimana mo turun, wong pulang workshop trus ngganyang macem-macem. Ealah mbaknya malah curhat.

Setelah empat sesi selesai dan saatnya beranjak pulang rombongan tim workshop udah pada tepar. Beberapa di antaranya langsung ketiduran di kereta pas balik ke Melbourne. Oya, sekolah ini berlokasi di Noble Park yang berjarak kurang lebih 40 menit naik kereta. Lumayan lah ya buat bobok-bobok bentar.

Begitu sampe rumah pokoknya saya langsung tepar, ga kuat ngapa-ngapain lagi. Kapok? Engga lah 😀

November 21, 2017

Merawat Keragaman Bareng Wimar

“Put.. tanggal 18 Nov bisa dateng acara Wimar Witoelar?” demikian pesan pendek yang saya terima dari Taiyo, OZIP Editor.

Acaranya Wimar, kayaknya menarik nih. Apalagi tanggalnya pas saya lagi habis ujian dan semua deadline (harusnya) sudah kelar. Saya iyain deh akhirnya. Jadi hari Sabtu, 18 November 2017 kemarin, pas banget waktu yang enak buat bobok siang malah jadinya saya udah duduk manis di tram menuju KJRI Melbourne.

Begitu sampai di lokasi ternyata udah banyak yang hadir, dan uniknya mayoritas adalah bukan pelajar, melainkan penduduk Indonesia yang sudah menetap di Melbourne bertahun-tahun lamanya. Hmmm.. menarik. Walaupun begitu ternyata saya berhasil menemukan sosok manusia yang saya kenal, sesama teman LPDP PK-53 juga: Andika. Trus untung juga Andhika bawa temen yang namanya Drajat yang kebetulan belum saya kenal. Lumayan, jadi nambah teman baru.

Sekitar pukul 15.30, acara pun dimulai. Secara keseluruhan, bincang santai ini menarik karena dibawa dengan serius tapi santai. Tahu sendiri khan gaya Wimar kalau berbicara itu suka diselingi guyonan kecil. Dibungkus dengan humor, Wimar merespon satu-persatu pertanyaan dan unek-unek pengunjung.

Pada intinya Wimar menyampaikan bahwa walaupun kesan yang ada luar seakan Indonesia, khususnya Jakarta, seperti makin intoleran, namun sesungguhnya toleransi dan interaksi yang damai itu masih ada. Hanya saja yang belakangan ini tereskpos memang kebanyakan hanya hal-hal negatif.

“Keragaman kita itu ibarat bunga yang berwarna warni, bagus tapi jangan hanya dikagumi.. Ini harus dirawat.” ujar Wimar.

Andhika pun sempat mengutarakan keprihatinannya bahwa sebenarnya smart reader yang mampu mengolah dan memilah berita yang beredar itu jumlahnya cukup banyak, namun kalah dari jumlah yang memilih untuk menyebarkan berita negatif. Wimar setuju dan sekaligus menambahkan hal ini terjadi karena kebanyakan para good guy yang punya intensi baik dan positive thinking pada umumnya sibuk dalam pekerjaan ‘real‘, sementara the bad guy cukup rajin dalam mempromosikan kegiatannya menyebarkan berita negatif dan intoleran karena mereka ini memang pengangguran.

Di akhir perbincangan sebenernya saya tidak berniat untuk minta foto bareng. Tapi kok ya kebetulan Andika trus mempromosikan saya ke panitia.

“Mbak, ini ada jurnalis dari Ozip Magazine mau wawancara.”

Dan bener lho, setelah denger kalo saya dari majalah trus mbak panitia langsung membantu mendorong saya ke depan dan ngasih kesempatan mengajukan pertanyaan secara pribadi. Wow! Alhamdulillaaah…

Udah gitu untung banget juga ada Drajat yang trus cekrak-cekrek buat motretin pas saya wawancara. Jadi ya gitu deh, jurnalis pemula kayak saya pada akhirnya bisa dapat foto keren. Alhamdulillah lagi.

 

Tas adidas kebanggaan saya bahkan bisa ikut nampang bareng Wimar

Trus kapan tulisan resminya dimuat? Terpaksa masih nunggu edisi Desember dulu yaaaa 😀

November 3, 2017

Liputan Kedua – Blues Music Festival

Sebelumnya saya udah sempet kasih hint di blog post ini, bahwa liputan kedua adalah Blues Music Festival. Jujur aja, jenis musik ini termasuk jarang saya dengerin. Sehari-hari biasanya saya muternya ini nih buat nemenin nugas.

Kebayang ga, saya yang biasa denger lagu teriak-teriak macam begini trus disuruh bahas musik blues 😀

Berhubung udah ditugasin, ya udahlah ya.. Lagian juga ini acaranya gratis kok, ngga ada ruginya. Jadilah di Minggu siang yang rintik-rintik janjian ketemu sama Luqman si fotografer yang kebagian tugas nemenin liputan. Lokasi acaranya juga ga jauh dari apartemen saya: di area Docklands.

Begitu masuk ke lokasi, saya sempet agak bingung ini kok sepi begini ya. Panggungnya ga ada siapa-siapa! Tapi pas denger hingar bingar dari sebuah tenda, baru deh ngeh. Oalah ternyata karena mendung jadi orang-orang lagi pada di dalam. Saya dan Luqman langsung masuk aja ke dalam trus nyari tempat duduk di barisan depan.

Artis pertama yang kami nikmati adalah Sweet Felicia and the Tradies lalu disusul oleh Steve Boyd’s Rum Reverie dan Bonnie Kay & The Bonafides. Selama acara sayanya sih duduk-duduk sambil dengerin musiknya sementara si Luqman sibuk ke sana kemari buat jepret-jepret. Note: ini foto di bawah juga hasil jepretan Luqman.

20171022-DSC_7006

Itu acaranya bener-bener maksimal deh soalnya digelar seharian dari jam 12 siang sampe 9 malam. Udah gitu ada panggung indoor dan outdoor, trus di masing-masing panggung juga ada area buat melantai. Tiap ada musisi yang tampil pasti deh ada aja penonton yang nge-dance sepenuh hati.

*benernya pengen ikutan goyang cuma ngga pede*

Berhubung sore itu saya ada janji buat piknik sama temen-temen jadi nggak bisa lama-lama nonton festival ini. Tapi yang jelas, datang ke acara beginian ternyata nagih. Saya sampe sengaja nyari-nyari lagi event gratisan beginian. Menyenangkan… datang sendirian, duduk, dengerin lagu genre yang bukan yang biasa kita dengerin sambil mengamati orang-orang sekeliling yang bergoyang.

Apalagi ya di Melbourne sini banyak banget acara festival beginian yang gratisan. Ntar deh kapan-kapan kalo sempat bakal saya tulis lagi di sini.