Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali
Demikian nukilan puisi Sutardji Calzoum Bachri ini diucap, ditafsirkan dan diolah di bawah sadar sang tokoh utama: Biru Laut. Nama yang bagus dan tidak biasa ya? Buku ini memang bercerita tentang kehidupan dan kematian Laut di bagian pertama. Kisah dan deskripsi kejadian dinarasikan oleh dirinya sendiri semasa hidup dan setelah mati.
Laut adalah seorang mahasiswa yang kritis, suka membaca, berpikir dan juga berdiskusi. Sayang, kekritisannya ini mengambil waktu dan tempat yang tidak tepat. Alhasil dirinya lenyap tanpa jejak, meninggalkan pertanyaan besar bagi adik semata wayang dan kedua orang tuanya. Sedih, perih, karena semua serba ga pasti apakah Laut masih hidup atau sudah tiada. Dialog-dialog sederhana antara Bapak, Ibu dan Mara sang adik, sukses membuat air mata saya menggenang.
“Mas Laut ndak suka kalau pisaunya bau bawang. Harus bersih…”
“.. kalau kita semua pergi nanti Mas Laut datang, rumah kosong.”
Yep, the loss of their child has forever transformed their thoughts and dreams. It shifts the perspective of the life they thought they had. Their sole daughter, Mara, has her own rationale thinking. Not only once she tried to bring the topic to discuss with her parents clearly, sensibly, and logically. Still, Bapak and Ibu opt to stay in the denial mode, the thing that I as a reader can’t blame.
Saya pernah membaca di sebuah kanal berita bahwa Leila S. Chudori memang memutuskan untuk mengambil sudut pandang Mara karena ia lebih logis dan kuat secara batin.
“Tak mungkin saya menceritakan dari sisi ibu Laut, karena bisa-bisa saya menangis sendiri saat menuliskannya.”
Kurang lebih begitu kata Leila, yang memang masuk akal. Karena kadang ketidakpastian lebih menyakitkan ketimbang kematian, terutama bagi orang tua yang kehilangan anaknya.
Alur cerita buku ini bersifat maju mundur, namun tidak membingungkan. Latar belakang lokasi pun beragam, mulai dari Jogja, Solo, Ciputat, bahkan sampai Sumatera. Menarik, realistis namun juga pahit. Sungguh khas Leila.