Kalau postingan kemarin terkait dengan Bhinneka, blog post kali ini bernuansa OZIP Magazine, walaupun dua-duanya sama-sama terkait dengan Indonesian Film Festival (IFF) Australia. See, I’m truly grateful having these kind of experience, participating in the special event while wearing two different hats: as a dancer and a journalist.
Di awal bulan April lalu udah ada woro-woro penugasan buat liputan, masing-masing jurnalis disuruh pilih salah satu film yang pingin ditonton. Ga cuma itu, si jurnalis juga berhak bawa satu temen buat nemenin. Pinginnya sih ngegandeng suami, eh apa daya kita LDR alias long distance relationship, bukan lho dikira relationship.
Bulan April dan Mei itu bulan-bulan asyik masyuk buat mahasiswa Melbourne. Masyuk sama siapa? Ya jelas sama perpustakaan lah, wong biasanya deadline assignment itu kayak cewek-cewek kalo mau ke toilet: maunya ditemenin. Jadi bisa aja tuh sehari ada dua deadline barengan datangnya. Makanya, pas dapat tawaran ngeliput itu saya bukannya seneng, malah senep. Dengan seksama dan hati-hati saya pilih tanggal yang ga ada deadline, ga ada presentasi, ga ada group meeting, ga ada apa-apa deh. Masih untung nentuinnya ga pake ngitung weton segala.
Terpilihlah sebuah film berjudul Banda, film kedua yang diputar hari Sabtu, 28 April 2018. Dan terpilihlah seorang teman yang bisa saya seret ikut nonton bareng, tak lain dan tak bukan adalah Ica. Begitu datang di lokasi, saya bilang ke panitia bahwa saya dari OZIP ternyata trus langsung digiring ke photo booth dan kita berdua dijepret sebanyak tiga kali. Dipesenin juga buat datang ambil hasil fotonya pas akhir acara. Tuh, foto yang di atas itu tuh. Unik ya?
Banda the Dark Forgotten Trail adalah sebuah film dokumenter yang mengupas kepulauan Banda, mulai dari kekayaan sumber daya, budaya, sampai dengan keindahan alamnya. Narasi sejarah tersebut dituturkan dengan apik oleh Reza Rahardian, membawa penonton terpesona dalam gambar demi gambar yang bercerita tentang banyak hal.
Salah satunya adalah fakta bahwa di abad ke-17, Banda memiliki kekayaan yang nilainya melebihi emas, yaitu pala. Berguna sebagai penambah rasa masakan, pengawet makanan, bahkan sampai obat, kemahsyuran buah ini mengundang perseteruan bangsa-bangsa Eropa untuk meneguhkan posisi di Banda. Kisah pun bergulir, salah satunya tentang beberapa tokoh besar Indonesia seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri yang diasingkan ke Banda Neira.
Trus apa hubungannya dengan Dien Tamaela, nama yang disebut di judul blog post ini? Hubungannya adalah: nama Dien Tamaela disebut-sebut di penghujung film, bagian dari puisi Chairil Anwar yang berjudul Cerita Buat Dien Tamaela. Berkisah tentang semangat dan keberanian pemuda Maluku, Chairil mampu menggambarkannya dengan sempurna walaupun tak sedetik pun ia pernah menjejakkan kaki di Maluku.
Asli, Banda ini film yang menarik banget. Walaupun berjenis dokumenter, film ini ga ngebosenin dan berhasil membuat mata saya terpaku di layar terus-terusan buat menikmati adegan demi adegan yang disajikan.
Leave a Reply