Buku hitam legam dengan semburat pink ini langsung menarik perhatian, membuat tangan saya otomatis mengambilnya dari rak buku Melbourne City Library. Minjem di sini gratis jhe, kapan lagi bisa baca buku bagus tapi nggak bayar?
Hot pink and black. Ada alasan tersendiri kenapa The Making of MONA didominasi dua warna ini yang tak lain adalah warna MONA itu sendiri. “It’s about being bold and hot… Pink is associated with sex” Iya, hot pink mewakili seks, sementara hitam merupakan representasi kematian, dua tema yang banyak ditampilkan di MONA.
Gambar buku MONA diambil dari sini.
Salah satu highlight kunjungan saya ke Tasmania beberapa minggu lalu itu sebuah museum nyentrik, unik dan beda dari biasanya: Museum of Old and New Art alias MONA. Bapak supir yang mengantar saya dan Dita waktu itu bilang bahwa MONA dibangun oleh seorang milyuner dari hasil menang judi. Saya jadi penasaran lebih jauh donk tentang cerita lebih lanjut.
Membuka buku ini rasanya seperti membuka buku cerita, bukan buku serius, padahal sebenarnya isinya sangat serius. Terdiri dari 11 chapter, keseluruhan isinya bercerita tentang sang pendiri: David Walsh, kisah pembukaannya di tahun 2011, cerita di balik pendiriannya yang memakan waktu 5 tahun lebih, para kurator sampai dengan alasan mengapa koleksi MONA termasuk unusual. Se-unusual apa sih di MONA? Konon Andrew Frost dalam salah satu reportasenya untuk ABC TV berkomentar begini: “big attraction is that it’s a look into the mind of David Walsh, a dark and mysterious place. This is museum as autobiography.. to enjoy MONA is to just feel the weird.”
Salah satu chapter yang berjudul The Anti-Museum menjelaskan keinginan gila Walsh untuk membuat museum yang tidak seperti museum. Whatever every other museum did, Walsh wanted to do the opposite except for the art. Walsh ga mau pengunjung museumnya capek, bosen dan akhirnya ngerasa bahwa berkunjung ke museum itu sebagai kunjungan di mana kita harus tertib, ngeliatin karya seni trus baca label lalu ngangguk-ngangguk (sok) ngerti. Dia pengen pengunjung merasa terangsang keingintahuannya, pengen tahu lebih dalam ini apa sih, kenapa sih kok ditaruh di sini, trus ada trivia apa di baliknya.
Buku ini juga ngebahas soal aplikasi O, satu-satunya pemandu kita buat bisa ngerti ini art-nya apaan sih. Sebagai mantan buruh IT saya tertarik banget sama aplikasi O di iPhone yang dipinjemin ke kita selama di dalam museum. Konon katanya Walsh cuma kasih order begini: “Deliver a system that would remove the need for labels and empower visitors to vote whether they love or hate the works”. Trus udah, itu tim IT-nya disuruh mikir sendiri. Puyeng ga lo. Akhirnya si tim IT yang terdiri dari 3 orang itu mikir beberapa alternatif, mulai dari pake dongle sampai akhirnya mutusin untuk make wifi dan ‘real time location systems’ (RLTS) buat ngebaca posisi pengunjung dan dihubungkan dengan artwork yang ada di deketnya.
Hasil dari keinginan nyeleneh David Walsh, ditunjang dengan kekayaan yang memungkinkan dia ngewujudin impian itu, terbukti katanya pengunjung menghabiskan waktu 6 kali lebih lama dari rata-rata kunjungan ke museum lain. Bahkan 30% di antaranya ngerasa satu hari penuh itu ga cukup jadi mereka kembali lagi besoknya.
Kalau penasaran dengan keanehan koleksi museum ini, foto yang saya ambil di atas itu menunjukkan salah satu kenyentrikan MONA. Kelihatannya kayak pameran normal khan? Is it truly a normal, usual artwork? Wrong! Koleksi tersebut dibuat dari kaleng sarden(!) yang dibentuk menjadi berbagai organ manusia, dan mayoritas adalah alat kelamin laki-laki dan perempuan. Beberapa karya lain yang dipamerkan bisa dilihat di sini.
Gimana? Jadi tertarik mengunjungi MONA ga? Saya sih terus terang kepengen datang lagi ke sana. Mungkin nanti, nunggu suami datang ke sini lagi 😀