Archive for February, 2017

February 28, 2017

The Making of MONA – Adrian Franklin

Buku hitam legam dengan semburat pink ini langsung menarik perhatian, membuat tangan saya otomatis mengambilnya dari rak buku Melbourne City Library. Minjem di sini gratis jhe, kapan lagi bisa baca buku bagus tapi nggak bayar?

Hot pink and black. Ada alasan tersendiri kenapa The Making of MONA didominasi dua warna ini yang tak lain adalah warna MONA itu sendiri. “It’s about being bold and hot… Pink is associated with sex” Iya, hot pink mewakili seks, sementara hitam merupakan representasi kematian, dua tema yang banyak ditampilkan di MONA.

 photo the-making-of-mona-1-lbox-1140x750-f2f2f2_zpsv2ag83dq.jpg

Gambar buku MONA diambil dari sini.

Salah satu highlight kunjungan saya ke Tasmania beberapa minggu lalu itu sebuah museum nyentrik, unik dan beda dari biasanya: Museum of Old and New Art alias MONA. Bapak supir yang mengantar saya dan Dita waktu itu bilang bahwa MONA dibangun oleh seorang milyuner dari hasil menang judi. Saya jadi penasaran lebih jauh donk tentang cerita lebih lanjut.

Membuka buku ini rasanya seperti membuka buku cerita, bukan buku serius, padahal sebenarnya isinya sangat serius. Terdiri dari 11 chapter, keseluruhan isinya bercerita tentang sang pendiri: David Walsh, kisah pembukaannya di tahun 2011, cerita di balik pendiriannya yang memakan waktu 5 tahun lebih, para kurator sampai dengan alasan mengapa koleksi MONA termasuk unusual. Se-unusual apa sih di MONA? Konon Andrew Frost dalam salah satu reportasenya untuk ABC TV berkomentar begini: “big attraction is that it’s a look into the mind of David Walsh, a dark and mysterious place. This is museum as autobiography.. to enjoy MONA is to just feel  the weird.”

Salah satu chapter yang berjudul The Anti-Museum menjelaskan keinginan gila Walsh untuk membuat museum yang tidak seperti museum. Whatever every other museum did, Walsh wanted to do the opposite except for the art. Walsh ga mau pengunjung museumnya capek, bosen dan akhirnya ngerasa bahwa berkunjung ke museum itu sebagai kunjungan di mana kita harus tertib, ngeliatin karya seni trus baca label lalu ngangguk-ngangguk (sok) ngerti. Dia pengen pengunjung merasa terangsang keingintahuannya, pengen tahu lebih dalam ini apa sih, kenapa sih kok ditaruh di sini, trus ada trivia apa di baliknya.

Buku ini juga ngebahas soal aplikasi O, satu-satunya pemandu kita buat bisa ngerti ini art-nya apaan sih. Sebagai mantan buruh IT saya tertarik banget sama aplikasi O di iPhone yang dipinjemin ke kita selama di dalam museum. Konon katanya Walsh cuma kasih order begini: “Deliver a system that would remove the need for labels and empower visitors to vote whether they love or hate the works”. Trus udah, itu tim IT-nya disuruh mikir sendiri. Puyeng ga lo. Akhirnya si tim IT yang terdiri dari 3 orang itu mikir beberapa alternatif, mulai dari pake dongle sampai akhirnya mutusin untuk make wifi dan ‘real time location systems’ (RLTS) buat ngebaca posisi pengunjung dan dihubungkan dengan artwork yang ada di deketnya.

Hasil dari keinginan nyeleneh David Walsh, ditunjang dengan kekayaan yang memungkinkan dia ngewujudin impian itu, terbukti katanya pengunjung menghabiskan waktu 6 kali lebih lama dari rata-rata kunjungan ke museum lain. Bahkan 30% di antaranya ngerasa satu hari penuh itu ga cukup jadi mereka kembali lagi besoknya.

 photo CBB40D83-03E0-4885-9A37-71448EBDFFB3_zps8a2zea0v.jpg

Kalau penasaran dengan keanehan koleksi museum ini, foto yang saya ambil di atas itu menunjukkan salah satu kenyentrikan MONA. Kelihatannya kayak pameran normal khan? Is it truly a normal, usual artwork? Wrong! Koleksi tersebut dibuat dari kaleng sarden(!) yang dibentuk menjadi berbagai organ manusia, dan mayoritas adalah alat kelamin laki-laki dan perempuan. Beberapa karya lain yang dipamerkan bisa dilihat di sini.

Gimana? Jadi tertarik mengunjungi MONA ga? Saya sih terus terang kepengen datang lagi ke sana. Mungkin nanti, nunggu suami datang ke sini lagi 😀

Tags:
February 27, 2017

Bhinneka di Welcoming AASC Unimelb 2017

Kalau bulan November lalu saya jadi gadis Minang, kali ini saya jadi gadis Aceh. Hehe, ngga dink.. Ini cuma gara-gara Bhinneka diundang untuk mengisi acara Welcome party Australia Awards Scholarship Club di University of Melbourne tanggal 24 Februari 2017.

Beberapa hari setelah saya mendarat di Melbourne ternyata di Whatsapp group Bhinneka lagi buka lowongan untuk nari Saman di acaranya AAS. Ga mau ketinggalan, saya langsung aja daftar buat ikutan nari. Iye, emang agak banci tampil sih kalo soal nari-narian gini, gimana donk.

 photo 43219F79-9CA4-484D-9AE6-DCBD206CD748_zpsyps7wkg6.jpg

Total latihan hanya sekitar 4 atau 5 kali, dan ini termasuk minim, jadi lumayan nervous dengan dua gerakan baru: Bungong Jeumpa dan Hei Jala, apalagi dua-duanya bukan gerakan kalem alias pake acara ngegenjot. Untung saja di hari H ternyata kami tampil cukup bagus dan sambutan dari audiens juga heboh. Sebenernya kondisi ini didukung dengan lokasi tampil yang kebetulan di dalam ruangan jadi perhatian penontonnya lebih terpusat. Beneran deh, setelah tampil rasanya bahagia banget.

 photo 0CE412D5-5A94-4A9B-AE1F-BD23A2214AC1_zpsekrjku8i.jpg

Kalo penasaran pengen lihat video-nya.. Ini dia:

Komentar temen-temen saya pas lihat video itu: “Mbak Putri keliatannya happy banget!”

Jelas happy, wong bawaannya pengen senyum mulu, apalagi kalo abis salah gerakan. Senyumnya makin lebar.. Hahahaha.. Terima kasih, AAS. Terima kasih Bhinneka.

February 26, 2017

Dispute Pedekate

Siang ini pas lagi sibuk-sibuknya beraktivitas tiba-tiba suami saya kirim message di Telegram, ngingetin kalo hari ini hari ulang tahun pernikahan ke-5. Ga kerasa kok tiba-tiba udah lima tahun aja ya. Rasanya baru kemarin masih jadi cewek single yang di-PDKT-in.

Ngobrolin soal pedekate ini sebenarnya terjadi dispute antara kami berdua soal gimana sih kejadian sebenarnya. Kejadiannya kurang lebih gini:

 photo 4C4C5CEE-EE82-4B00-A833-BE69CECAD1B6_zpsnee2kjmf.jpg

Bukan iPod saya. Pokoknya iPod yang begini ini deh yang jadi bahan awal obrolan

Suami saya entah gimana awalnya ujug-ujug nanya soal iPod. Kebetulan di antara temen-temen waktu itu, masih jarang yang punya iPod jadi waktu itu dia nanya soal belinya di mana, garansinya gimana trus asik ga kalo punya iPod. Obrolan lanjut ngalor ngidul dan sampai pada titik suami cerita kalau dia merasa masih ada yang ga beres dengan kesehatannya dan pengen check up jantung di RSJP Harapan Kita.

Cerita versi saya dan suami masih sama nih sampai di sini. Perbedaannya ada di penggalan berikut.

Versi saya

Suami: “Aku dapat jadwal periksa di Harapan Kita nih Sabtu pagi. Mau nemenin ga?”

Saya: “Boleh deh” Toh saat itu juga saya lagi ga ada kerjaan.

Versi suami

Suami: “Aku dapat jadwal periksa di Harapan Kita nih Sabtu pagi.”

Saya: Mau aku temenin ga?”

Suami: “Hmmm… gapapa?

Lhaaaaaa… Satu kejadian aja bisa dua versi begitu 😂. Sampai sekarang tidak ada kata sepakat tentang hal ini. Dari saya: “Ga mungkinlah aku nawarin buat nemenin wong dulu aku takut sama kamu. Ekspresimu datar mulu. Medheni.” Note: medheni itu artinya menyeramkan.

Sedangkan dia berkilah kaya gini: “Ga mungkin aku ngajak cewek yang baru kenal jalan ke Rumah Sakit. Lagian emang ada ya yang ngajak kencan cewek ketemu dokter? 😓  Plus kamu kan pelupa. Ga inget yang begitu-begituan. Ulang tahun pernikahan aja lupa, apalagi yang udah lewat hampir 8 tahun”. Tentu saja, sambil ketawa-tawa usil.

Apapun kejadian yang sebenarnya, kunjungan ke Rumah Sakit hari itu berujung ke tanggal ini lima tahun yang lalu, sampai ke sekarang dan semoga terus lanjut ke tahun-tahun berikutnya. Looking forward to spending the rest of my life with you, having a blissful marriage with you! Happy 5th anniversary!

February 22, 2017

Pikun

Saya ini orangnya rapih. Saking rapihnya semua benda-benda di apartemen jarang ada yang tergeletak begitu saja. Biasanya selalu tersimpan dalam lemari, laci atau minimal wadah deh. Tapi saya ini juga pelupa. Ternyata rapih+wadah+pelupa bukan kombinasi yang bagus *sigh*.

Pengalaman lupa paling baru ya terjadi pas habis balik dari Indonesia 3 minggu lalu. Saya lupa benda-benda disimpan di mana mulai dari sprei, sikat gigi cadangan, kabel data sampai charger laptop. Semua ga ketemu, saking rapihnya saya simpen 😅. Ampuuun, itu Dita sepupu saya sampe ketawa geli lihat ada yang garuk-garuk kepala obrak-abrik wadah di dalam lemari.

Rapih dalam urusan ngatur barang, belum tentu rapih ngurus uang juga. Eh ini kalo saya, hahaha.. Dalam hal keuangan, harus diakui bahwa suami lebih jago dan akhirnya yang memegang pencatatan keuangan. Tugas saya tinggal sekadar mencatat hari ini tanggal segini belanja ini di sini harganya sekian. Sudah, itu saja. Nanti secara berkala saya akan setor transaksinya ke suami untuk dimasukkan ke dalam sistem pencatatan buatannya sendiri.

Gampang? Nggak juga. Kejadian yang mirip-mirip dengan percakapan di bawah ini ga hanya terjadi sekali atau dua kali.
 photo F0C61070-3F43-45C1-A51D-F1767728E81F_zpswhbynxhr.jpg

Iya, percakapan di atas biasanya terjadi kalau suami menemukan selisih dalam pencatatan transaksi saya makanya dia nanya saya beli benda A di mana, kapan dan bayarnya pakai kartu atau tunai. Soalnya sering saya tulis bayar tunai padahal pakai kartu, atau bayarnya beneran tunai tapi nominalnya keliru. Kejadian di atas itu, jangankan lokasi beli, saya bahkan ngga inget waktu itu sempat beli minum. Hadeuh. Kalo udah ditagih begini dan saya udah puas merenung tapi hasilnya sia-sia alias lupa, akhirnya suami juga putus asa trus meng-update financial sheet-nya dengan kata-kata “Penyesuaian Dompet” dengan nominal sekian dolar.

Gara-gara lupaan begini ini khan saya jadi penasaran, sebenernya apa sih yang mempengaruhi memori manusia, bagaimana sebuah memori terbentuk dan apa yang menyebabkan daya ingat kita turun. Jadi deh saya iseng baca buku Remember When?: The Science of Memory keluaran Scientific American. Menurut buku ini setiap kali kita melakukan sesuatu, saat itu ada dua sel otak yang berinteraksi dan membentuk jaringan memori yang diperkuat oleh protein bernama myelin, atau lebih seringnya sih disebut dengan istilah white matter. Sayangnya, makin tua umur manusia, si white matter ini juga makin turun kualitasnya.

Menariknya, salah satu contoh yang disebut secara signifikan membantu penguatan white matter adalah main piano! Apalagi kalau sudah terlatih memainkan instrumen musik sejak kecil, konon white matter-nya lebih bagus ketimbang orang yang baru belajar di usia lebih tua. Beruntung nih buat temen-temen yang bisa main piano, kemungkinan lupaan kayak saya jadi makin kecil.

Sekarang saya agak kuatir sendiri, ini kalo semester baru udah dimulai bakal gimana ngerjain tugas dan exam ya. Wish me luck, doakan semoga saya bisa bertahan di semester ini tanpa ginko biloba 💪