Disclaimer: ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi saja, tidak menggambarkan semua programmer.
Punya suami programmer berarti harus siap dengan sosok yang:
- Reaksi seadanya. Saya dan suami adalah teman satu angkatan penerimaan pekerja di kantor, jadi sudah kenal sejak masa trainee sampai dengan sama-sama diangkat menjadi pekerja tetap. Setiap hari saya lewat di depan mejanya dan setiap hari pula saya selalu menyapa “Selamat pagi!”. Rekan kerja lain pada umumnya akan menjawab “Pagi!” atau “Halo!”. Sementara suami saya, yang waktu itu bahkan tidak dekat sama sekali, sekedar mengangkat kepala dari layar komputer untuk kemudian melempar sedikit seringai. Ingat, seringai lho ya. Bukan senyum.
- Mudah tidur. Seperti benda favoritnya, komputer, dia biasanya akan automatic hibernate kalau utilisasi processor-nya rendah. Jangan heran kalau tidak ada hal yang menarik minatnya, yang mana adalah coding atau nonton acara olahraga, dia cenderung akan lelap dengan sendirinya. Kapan saja, di mana saja.
- Menganggap coding adalah game. Makin sulit modul yang dikerjakan, akan makin senang dia. Jam pulang kantor diterabas dengan senang hati kalau masih belum berhasil menemukan bug atau program yang dikerjakan belum selesai. Yang bisa membuatnya pulang adalah pesan dari istri di Telegram bahwa kerjaannya di kantor sudah selesai dan sudah bisa dijemput.
- Tak suka basa-basi. Bagaikan logic program yang tidak akan jalan kalau tidak kita klik tombolnya, hal yang sama juga berlaku pada suami saya. Kalau kita tidak tekan button yang tepat dia tidak akan bersuara. Jangan harap dirinya memulai percakapan, karena seperti sudah dijelaskan di poin kedua, dia lebih menyukai tidur kalau tidak ada kegiatan favoritnya.
- To the point. Masih lanjutan dari poin keempat, dia selalu bicara langsung apa maksud dan tujuannya. Pernah ada seorang teman dekatnya bertanya di Whatsapp: “Apa kabar bro?”. Suami saya menjawab: “Biasa aja sih. Ada apa?” See? Seakan-akan dia tanpa basa-basi bertanya: “Ada keperluan apa tiba-tiba Whatsapp?”
- Pengeluaran dan pemasukan finansial tercatat secara sistematis. Sejak masa lajang sampai sekarang, suami punya tracking yang rinci dan lengkap mengenai arus kas masuk dan keluar. Sejak menikah, sistem pencatatannya jadi agak berantakan. Apalagi kalau bukan karena saya, hahahaha! Semasa masih single, catatan pengeluaran suami di hari Senin misalnya, hanya akan berisi: makan siang dan makan malam. Setelah ketambahan satu entitas baru, pengeluaran hari Senin akan bertambah dengan: angkot+kereta berangkat ke kantor, beli roti sarapan, beli kopi centil di Starbucks, makan siang, jajan di Starmart, makan malam. Ribet? Iya 😀
- Tak mengharapkan karir. Suami pernah bilang bahwa ia tak terlalu peduli akan karir, selama ia bisa selalu coding di kantor.
- Mudah menebak perilaku orang. He’s too lazy to build the program from scratch. He’s more into reading existing program then enhance the inefficient codes inside. Impact-nya adalah: dia bisa memprediksikan gerak-gerik orang di sekitarnya sekaligus menganalisa dalam hati. Tapi semua hanya disimpan sendiri saja, ia jarang membagi dengan orang lain. Kalau analisanya terbukti benar, barulah ia puas.
Seperti yang sudah disampaikan di awal tulisan, 8 hal tersebut di atas tidak menggambarkan semua programmer jadi kalau ada yang tidak sesuai, harap maklum 🙂