Awalnya saya tidak tertarik untuk menonton pertunjukan The Book of Mormon. Berhubung suami mengajak, ya sudahlah, cari-cari tiket yang termurah dan jadwal yang pas di tengah jadwal kuliah suami. Untung saja ketemu waktu dan harga yang pas. Kami booking tiket pertunjukan ini kira-kira bulan Maret, sebulan sebelum pertunjukan. Kok jauh-jauh hari sudah booking? Soalnya pertunjukan ini termasuk salah satu yang terlaris dari seluruh pertunjukan Broadway yang ada saat ini. Kalau booking tiket mendadak dan mendekati hari H yang tersisa hanya tiket yang harganya selangit.
Kebetulan The Book of Mormon saat ini sedang tour jadi pertunjukannya bukan di Broadway NYC melainkan di kota-kota lain. Khusus bulan Maret hingga Juli mereka sedang touring di Boston dan Columbus. Saya sih mengejar menonton ke Boston saja, berhubung dekat dari rumah teman jadi bisa sekalian menumpang nginap. Pertunjukannya sendiri bertempat di Boston Opera House yang terletak di seputaran Theater District kota Boston. Teater ini hanya berjarak 1 blok dari Boston Common. Parkir mobil bukan menjadi kendala karena ada Boston Common Garage di mana pengunjung bisa parkir mobil dengan tarif yang terhitung murah buat ukuran kota semahal Boston, yaitu sebesar USD 12 untuk sehari penuh.
Dari area parkir kami berjalan menyeberangi Boston Common, yaitu semacam area hijau di kota Boston yang mirip dengan Central Park di kota NYC. Teater yang dituju bisa diduga penampakannya: tidak akan sebesar dan semegah teater tempat pertunjukan Lion King. Bangunannya pun terkesan tua. Berbekal tiket paling murah kami mendapat seating di sisi kanan agak belakang panggung. Tapi berhubung ukuran teater yang tidak besar, penonton yang duduk di belakang pun masih dapat menikmati pertunjukan dengan nyaman.
Pertunjukannya sendiri bagaimana? Satu kata: awesome! But you can’t bring your child watching this show. Banyak kata sumpah-serapah dalam dialog ataupun lirik lagu tak pantas didengar anak-anak. Namun hal ini dapat dimaklumi karena yang membuat naskah pertunjukan ini orang yang sama yang membuat kartun nan sarkastik, South Park. Kalau melihat review show ini di TripAdvisor ataupun Yelp, banyak yang menuliskan The Book of Mormon relatif tidak cocok bagi orang-orang yang sense of humor-nya tidak terlalu tinggi. Bisa diibaratkan dengan stand up comedy di mana banyak tema-tema sensitif yang diumbar sepanjang pertunjukan. Dari judulnya saja sudah ketahuan kan tema apa yang banyak sekali disindir di dalamnya?
Pertunjukan dibuka dengan lantunan lagu ‘Hello’, sepanjang lagu ini kita diajak berkenalan dengan para misionaris didikan Gereja Besar Mormon di Salt Lake City, Utah. Dua tokoh utama: Elder Price dan Elder Cunningham adalah sosok bertolak belakang dilihat dari karakternya. Elder Price sedikit tinggi hati, sementara Elder Cunningham agak sedikit ngaco dengan hobinya yang suka making things up. Elder Price sejak lama berharap ditempatkan di Orlando, Florida. Saat mengetahui bahwa penugasannya tidak sesuai dengan keinginan, yaitu ke Uganda, awalnya Price agak kecewa. Apalagi saat melihat kok partner-nya adalah Cunningham. Belakangan juga terungkap mengapa Elder Price memutuskan untuk bergabung dengan misi gereja Mormon ini (spoiler alert!) yang tidak jauh-jauh dari kota Orlando.
Adegan demi adegan mengalir dengan mengajak penonton tertawa sampai akhir pertunjukan. Beberapa detil kecil bahkan sampai membuat saya tertawa sendiri apabila teringat adegannya lagi sekarang. Belum lagi ternyata di Youtube juga ada yang mengunggah video ‘Hello’ tersebut. Ngomong-ngomong jangan harapkan tata panggung dan kostum yang luar biasa untuk The Book of Mormon ini. Propertinya biasa saja, apalagi kostumnya. Kostum para Elder ya itu-itu saja. Kemeja lengan pendek putih, celana panjang hitam dan dasi hitam. Paling yang membedakan hanya misionaris di akhir cerita yang mengenakan kemeja putih, dasi hitam dan bawahan yang beraneka ragam seperti di foto di atas. Kekuatannya memang lebih ke cerita dan kelucuan adegan-adegan di dalamnya.
For Broadway lover, give this show a shot. You won’t regret it.