Saya senang sekali saat baru-baru ini di-add di Blackberry Messenger oleh teman lama semasa kuliah. Walaupun berbeda jurusan tapi kami tinggal di kost yang sama. Diah, nama teman ini, adalah sesosok yang keibuan. Lembut, ceplas ceplos, nggak tegaan, tetapi di lain pihak justru sungkan-an.
Empat tahun berinteraksi dengannya saya menjadi tahu bahwa orangtuanya punya toko di pasar kampung halamannya. Diah dan keempat saudaranya semua kuliah di PTN, ada yang di ITS, Universitas Brawijaya dan Universitas Jember. Melihat keseharian Diah memang sudah terlihat kebiasaan yang menunjukkan kedisiplinan didikan orang tuanya. Sehari-hari ia sudah bangun pukul 4 pagi. Itupun masih dilanjut belanja ke pasar, memasak, baru dilanjut kuliah dan aktivitas lainnya. Saya? Hehe, terkenal paling mbangkong. Sampai-sampai Diah ini berkomentar tentang saya
“Kamu tu benar-benar kayak cowok ya. Nggak bisa masak dan suka bangun siang..”
Komentar yang polos tapi menohok, hahahaha
Sang Ibunda meninggal dunia beberapa tahun setelah Diah lulus kuliah. Dari chat kami yang cukup intens (biasalah kami berkangen-kangenan setelah 10 tahun tidak pernah ketemu dan baru chatting belakangan ini), Diah bercerita kalau kesehariannya sibuk sekali. Toko peninggalan Ibunda sudah dibeli olehnya, otomatis ia dan sang suami mengelola toko tersebut sepenuhnya. Peran Diah tak selesai sampai di situ, ia juga berstatus pegawai kantoran di sebuah lembaga mikro kelolaan sebuah bank koperasi di Indonesia.
Kesehariannya dimulai dari pagi buta, bangun pukul 3 pagi, bersiap-siap lalu paling lambat pukul 4 pagi sudah buka toko. Di hari-hari tertentu tokonya tutup pukul 7 pagi, tetapi hari lainnya ia akan buka sampai siang. Setelah mengurus tokonya, pukul 8 pagi ia meneruskan aktivitasnya di kantor sampai sore.
Mengingat karakternya yang nggak tegaan, saya terusik mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana cara ia meng-handle pegawai di tokonya. Saat ini ada 3 orang pegawai yang membantu di toko, 2 perempuan dan 1 laki-laki.
“Ada sih, tak bilangi pelan-pelan biasanya. Kalo ada yang mecucu tak biarin dulu. Pas sendiri baru tak ajak ngomong. Biasa, soalnya masih muda-muda semua. Kadang ada problem sama pacarnya mecucu-nya juga di toko.”
Ketika ditanya apakah ia tidak capek, mengingat pagi berjualan dan siang di kantor, ia menjawab simpel
“Capek, tapi kalau nggak jualan sayang.. Pembelinya banyak.”
Mau tak mau saya tersenyum membaca kalimatnya. Ah ia ternyata masih seperti dulu, polos dan apa adanya.